Monday, December 14, 2015

Percakapan di Sore Musim Gugur

"Hei Miss Russian!"

Tasia yang sedang berjalan di koridor kampus dengan wajah bertekuk, dia baru saja keluar dari kelas salah satu dosen yang super cerdas sekaligus menyebalkan, seketika terangkat. Dia segera membalikkan badannya. Berusaha mencari pria yang menyapanya. Sayang, ketika dia menemukan sosok itu matanya yang sempat berbinar bahagia langsung meredup.

Dia lupa. Bukan hanya kekasihnya yang suka mengggodanya dengan sengaja memanggilnya "Miss Russian" karena warna rambut dan kulit serta bola matanya yang serupa dengan Papa.

Sepupunya juga sering melakukan hal yang sama.

"Kamu kok di sini, Bule?" Tasia berujar ketus sambil berjalan mendekati sepupunya yang dengan santai duduk di salah satu bangku taman. Sepupunya memiliki mata yang tajam, bangku yang didudukinya adalah bangku dengan pemandangan terbaik. Tasia suka menghabiskan waktu menunggu jadwal kuliah di situ. Dia beruntung diterima di salah satu universitas tertua di Leuven bahkan Belgia, Katholieke Universiteit Leuven. Bangunan tua serupa kastel kerajaan adalah pemandangan sehari-hari. Yang selalu berhasil membuatnya berdecak kagum.

"Gitu banget nanyanya," Wira terkekeh, "Kecewa karena yang datang aku bukannya Aditya kesayangan kamu?"

"Please, deh," dengan sengaja Tasia melempar tas ke perut Wira hingga membuat sepupunya meringis kesakitan, "Ngapain kamu di sini? Terakhir kita ngobrol bukannya kamu lagi di antah berantah dan mau nyobain jalan terseram atau apalah gitu?"

"Aku terpaksa ninggalin La Paz karena perintak Mama kamu," suara Wira melembut, "Kata Tante, tiap kali video call sama kamu, kamunya kayak lagi PMS. Kenapa? Ada masalah?"

"Nggak kenapa-kenapa," Tasia duduk di samping Wira dan merebahkan kepalanya pada pundak Wira, "Capek aja. Tugas makin banyak."

"Yakin?"

Tasia bergeming. Wira dengan sabar menunggu.

Mereka berdua anak tunggal. Kebetulan, mereka juga ditinggal sosok ayah di usia yang masih sangat muda. Ibu mereka sibuk bekerja untuk memastikan kenyamanan mereka. Kondisi itu membuat mereka menjadi sangat dekat. Bahkan mengalahkan kedekatan saudara kandung.

Wira dan Tasia tidak terpisahkan. Di mana ada Wira di sana ada Tasia mengekorinya.

Sejak dulu, Wira terbiasa menjadi tempat Tasia bercerita. Bahkan setiap kali dia dirundung karena penampilannya, Tasia akan berlari mencari Wira. Tasia selalu merasa nyaman bercerita karena pria ini tidak pernah menuntutnya untuk bercerita. Wira selalu memberinya waktu untuk menenangkan diri dan akan mendengarkan ketika dia ingin bercerita. Seperti sekarang.

"Hubungan aku sama Kak Aditya."

"Kenapa hubungan kalian?" Wira mengernyit bingung.

Hubungan Jiyad dan Noura hanya bisa dikalahkan oleh hubungan Aditya dan Tasia. Hubungan mereka berjalan tenang tapi memeliki arah yang pasti. Wira hampir tidak pernah mendengar Tasia mengeluh. Beberapa kali Tasia curhat tapi hanya karena masalah kecil yang berawal dari kesalahpahaman.  Aditya selalu berhasil mengimbangi emosi Tasia yang masih sering meledak.

LDR juga tidak membuat hubungan mereka memburuk. Memang jaral Delft dan Leuven tidak terlalu jauh walau berbeda negara. Yang Wira tahu, hubungan Aditya dan Tasia selalu baik-baik saja. Normal.

"Dia berubah sejak kerja," Tasia memberengutkan wajahnya, "Dia nggak kayak dulu. Aku mulai negrasa kalau aku bukan prioritas dalam hidupnya dia."

"Kenapa kamu bisa mikir gitu?"

Tasia menghembuskan napas panjang, "Kita memang video call tiap malam tapi dianya udah capek gitu. Nggak pernah benar-benar dengerun apa yang aku omongin. Nyebelin banget pokoknya! Aku kangen Kak Aditya yang dulu."

"Aditya lagi nyesuain diri sama lingkungan kerja. Dunia yang bener-bener beda. Wajar kalau dia kecapekan dan kesannya jadi nggak punya waktu buat kamu," Wira mengacak rambut Tasia, "Dan harusnya kamu bersyukur, Aditya udah capek tapi masih mau ngehubungin kamu. Itu tandanya dia sayang sama kamu, kan?"

"Lagian kalian sebenarnya nggak harus ngobrol tiap malam, kan? Kenapa nggak pas weekend atau seminggu sekali tapi bener-bener pas kalian lagi sama-sama nyantai?"

Tasia terdiam. Dia tidak pernah memikirkan kemungkinan ini sebelumnya.

"Sebenarnya aku nggak mau ngomong ini tapi dari pada kamu salah paham," Wira menatap Tasia yang masih memberengutkan wajahnya, "Ada alasan kenapa Aditya kerja gila-gilaan kayak sekarang. Biasanya, kan, seumuran dia itu masih doyan have fun, main sama temen gaul sana sini. Tapi dia malah milih fokus kerja. Menurut kamu kenapa?"

Tasia menggelengkan kepalanya pelan.

"Dia pengin bisa secepatnya nunjukin sama Tante kalau dia mampu ngehidupin kamu."

"Maksud kamu, dia..." Tasia membasahi bibirnya, "Dia udah mikir nikah dan..."

"Memangnya kalimat aku bisa diartiin lain, ya?"

"Kamu tahu dari mana? Paling kamu cuma ngarang! Kak Aditya nggak pernah cerita ini ke aku."

"Iya. Sama kayak dia nggak pernah cerita dia bakal kuliah di Delft sebelum dia pasti dapat beasiswa. Sama kayak dia nggak cerita kalau keterima kerja di Sclumberger sebelum benar-benar tanda tangan kontrak. Iya, kan?"

Pikiran Tasia mendadak putih. Dia tidak tahu harus mengucapkan apa.

"Terserah kamu mau percaya atau nganggap aku ngarang," Wira bangun dari duduknya, "Yang penting aku udah ngejalanin perintah mama kamu."

"Bule! Kamu mau ke mana?" Tasia berusaha menjajari langkah Wira.

"Pulang!"

"Ke mana? Kamu nginap di mana?"

"Aku mau pulang ke Jakarta."

Langkah Tasia terhenti, "Kamu serius mau pulang?"

Wira mengangkat bahunya lalu membenarkan posisi kacamata yang dikenakannya, "Mungkin."

"Kok mungkin? Kamu udah beli tiket belum?"

"Kalau Andre sama Rani nikah kamu bakalan datang, nggak?"

"Kenapa jadi ngomongin mereka? Mereka udah lama putus, kok."

"Gimana kalau sendainya mereka nikah? Kamu bakalan datang?"

"Nggak tahu," Tasia mengunci tatapannya pada mata biru Wira, "Tapi mungkin aku bakal datang. Gimana pun Rani sahabat aku, kan?"

Wira menganggukkan kepalanya lalu kembali melangkahkan kakinya. Dari pertanyaan yang diajukan oleh sepupunya sedikit banyak Tasia bisa meraba apa yang sedang dipikirakan oleh Wira. Tapi Tasia memilih untuk menggandeng lengan Wira yang dimasukkan ke saku celananya dan menemani pria ini berjalan dalam diam.

Angin musim gugur bertiup pelan menggugurkan sisa daun yang sudah menguning di ujung ranting. Mereka berdua tanpa berbicara menyusuri jalan yang dipenuhi daun kering.

Pulang atau ...?




No comments:

Post a Comment