Danau ini masih sama dengan bertahun yang lalu ketika aku mengunjunginya untuk pertama kali.
Biru, beriak lembut dan penuh dengan pohon-pohon yang meranggas, cantik. Seakan musim gugur hadir di negara ini. Ah, dan serumpun bambu berduri itu pun masih ada. Mungkin penduduk sekitar ragu untuk menebangnya karena cerita mistis yang beredar. Katanya, rumpun itu rumah makhluk halus.
Penduduk desa, mereka masih lugu selalu percaya pada cerita dongeng tak berdasar. Mereka tidak tahu kalau aku yang mnyebarkan cerita itu. Mereka bahkan tidak curiga ketika dulu aku sering mengunjungi danau ini berulang kali, bersama seorang gadis.
Gadis yang bernama, aku lupa. Aku tidak bisa mengingat siapa nama gadis itu. Yang aku ingat, dia cantik, berambut hitam yang lurus dan dipotong pendek rapi, mata besar yang bulat dan berbaring ditengah rumpun bambu berduri itu.
Aku yang membaringkannya disana setelah mencekiknya sekuat tenaga hingga mematahkan tulang lehernya yang kecil dan rapuh. Aku masih mengingat dengan jelas derak tulang yang patah itu, seperti melodi sempurna.
"Sayang, kenapa senyum-senyum sendiri?" Dia yang datang bersamaku menghampiri dan memeluk lenganku.
"Teringat kenangan indah kita," sedikit kebohongan tidak akan.menyakiti siapapun.
"Mulai dingin, kita pulang yuk? Kamu ingat kata dokter khan? Angin malam ga bagus buat ibu hamil." Dia mengusap perutnya lembut dan penuh kasih sayang.
"Ok, kita pulang," lembut aku menuntunnya ke mobil.
Untuk terakhir kali aku melihat rumpun bambu berduri dari jendela mobilku dan kembali tersenyum karenanya. Derak tulang leher yang patah, aah...!
Biru, beriak lembut dan penuh dengan pohon-pohon yang meranggas, cantik. Seakan musim gugur hadir di negara ini. Ah, dan serumpun bambu berduri itu pun masih ada. Mungkin penduduk sekitar ragu untuk menebangnya karena cerita mistis yang beredar. Katanya, rumpun itu rumah makhluk halus.
Penduduk desa, mereka masih lugu selalu percaya pada cerita dongeng tak berdasar. Mereka tidak tahu kalau aku yang mnyebarkan cerita itu. Mereka bahkan tidak curiga ketika dulu aku sering mengunjungi danau ini berulang kali, bersama seorang gadis.
Gadis yang bernama, aku lupa. Aku tidak bisa mengingat siapa nama gadis itu. Yang aku ingat, dia cantik, berambut hitam yang lurus dan dipotong pendek rapi, mata besar yang bulat dan berbaring ditengah rumpun bambu berduri itu.
Aku yang membaringkannya disana setelah mencekiknya sekuat tenaga hingga mematahkan tulang lehernya yang kecil dan rapuh. Aku masih mengingat dengan jelas derak tulang yang patah itu, seperti melodi sempurna.
"Sayang, kenapa senyum-senyum sendiri?" Dia yang datang bersamaku menghampiri dan memeluk lenganku.
"Teringat kenangan indah kita," sedikit kebohongan tidak akan.menyakiti siapapun.
"Mulai dingin, kita pulang yuk? Kamu ingat kata dokter khan? Angin malam ga bagus buat ibu hamil." Dia mengusap perutnya lembut dan penuh kasih sayang.
"Ok, kita pulang," lembut aku menuntunnya ke mobil.
Untuk terakhir kali aku melihat rumpun bambu berduri dari jendela mobilku dan kembali tersenyum karenanya. Derak tulang leher yang patah, aah...!
No comments:
Post a Comment