Monday, October 29, 2012

Tak Semuram Langit Januari.

Kelabu, muram.

Seharusnya langit sudah tidak semuram ini, sudah saatnya sinar matahari yang cerah atau langit malam yang penuh bintang menghias langit. Tapi ternyata langit masih setia pada mendung, bahkan diakhir musim penghujan seperti sekarang ini. 

Januari dan kemuraman langit. Selalu berhasil mengembalikan keping ingatan masa laluku. Ketika aku pertama kali bertemu dengan dia di gerbong kereta dengan tujuan yang sama dengan tujuanku sekarang. Dia, satu-satunya wanita yang tidak membangkitkan inginku untuk membunuhnya. Dia yang selalu berhasil menghadirkan senyuman pada wajahku, sesuatu yang sudah lama terlupakan dalam hidupku. 

Dia yang sekarang duduk disampingku dan masih bersedih karena kematian si kecil, anakku dan dia. kematian yang datang karena undanganku. 

"Sayang, aku kangen si kecil." Dia memeluk lenganku dan berbisik lirih. 

"Aku juga," Aku membalas bisikannya dan mencium keningnya lembut, "tapi kita ga boleh terus-terusan sedih. Kaya mendung yang ga selamanya ada dilangit."

"Aku tahu," Dia tersenyum, senyum pertama yang terulas dibibirnya sejak kematian si kecil. "Tapi kalau Si Kecil masih bareng kita, pasti dia ikut bahagia sekarang."

"Bahagia?" Aku bertanya dengan bingung. 

Senyumnya semakin lebar, "aku hamil, Sayang." 

Aku mempererat pelukanku kepadanya, "hamil?"

"Iya, aku baru dapat hasilnya tadi pagi. Tapi karena kita buru-buru berangkat aku ga sempat kasih tahu kamu." Dia memeluk pinggangku, 

Aku hanya tersenyum, tipis dan dalam hati berharap kali ini dia mengandung bayi laki-laki. Setidaknya, aku tidak pernah ingin membunuh laki-laki. Kalau ternyata bayi perempuan, semoga nasibnya tidak semuram langit Januari karena keinginanku untuk mengundang kematian. 



2 comments: