Akhir Januari.
Hujan masih sering
menyapa hari. Bahkan terkadang tanpa jeda. tidak menyisakan ruang sedetik pun
untuk mentari.
Seperti hari ini.
Hujan kembali hadir. Membasahi jendela, menyirami pepohonan dan menguarkan
aroma khas milik tanah, aroma yang sangat kucintai, nomor dua setelah
mencintaimu. Dulu.
Hujan masih sama
seperti setahun yang lalu. Masih beresonansi dengan hatiku. Seketika
menghadirkan kamu dan jutaan kepingan kisah. Kisah milik kita. Kisah yang
menghadirkan duka dan menegaskan luka. Dukaku dan lukamu.
Setahun.
Sudah setahun sejak
tidak ada lagi kita. Sejak kita kembali menjadi dua orang asing, aku tidak lagi
berhak apapun atasmu sama seperti kamu yang tidak lagi wajib melindungku.
Setahun sejak aku
terpaksa tertatih, berjalan sendirian.
Setahun aku bergumul
dengan sesal, sedih dan tanya yang tak pernah usai. Merangkai malam dengan
teriakan kesal kepada semesta. Mengapa semesta menalikan benang takdir kita
jika akhirnya memaksa kita untuk berpisah? Menjalani hari dengan jutaan kesedihan
atas ketidakberdayaanku untuk mempertahankan kita. Menghela napas dengan tanya
yang tidak pernah terjawab.
Demi Tuhan.
Salahkukah jika ternyata aku tidak sesempurna inginmu? Tidak seistimewa yang
diharapkan keluargamu? Tidakkah kamu melihat, bahwa aku hanyalah seorang wanita
dengan takdir yang hanya mampu untuk aku jalani tanpa mampu mendebatnya.
Sayang. Masih
pantaskah aku memanggilmu dengan sebutan itu? Apa yang sesunguhnya kamu
inginkan dariku?
Jendela basah oleh
rinai gerimis. Perlahan berembun, memberi ruang bagi jariku untuk, entahlah,
mencoret kasar, bebas, tanpa ada yang mengatur tidak seperti hidupku, terpaksa
menjalani takdir.
Perceraian.
Setahun lalu, tepat
di hari ini talak itu terucap. Aku menerimanya dengan tangis yang tertahan dan
kamu mengucapnya dengan sakit yang tak terucap. Sedang cinta yang dulu
menyatukan kita, tertunduk sepi, tak diacuhkan.
Hari itu aku berduka
dan kamu terluka. Kita berdua kalah. Tidak seorangpun menjadi pemenang.
Dukaku karena
kehilangan kamu dan lukamu karena tidak mampu mempertahankanku.
Siapakah yang
bersalah?
Aku. Mungkin. Atau
begitu menurut pendapat keluargamu, menurut ibumu yang sudah menjadi ibuku,
walau beliau tak pernah menganggapku.
Tapi salahkukah itu?
Salahkukah jika
ternyata aku bukan wanita yang sempurna? Salahkukah jika aku tidak mampu
mengandung benihmu, calon bayimu, penerus nama keluargamu?
10 tahun aku
mendengarmu berbisik, bisikan cinta dan pujian betapa aku sempurna. 10 tahun,
hanya 10 tahun, sedang aku berharap selamanya, hingga nanti, ketika aku
berhenti bernapas.
10 tahun aku terbiasa
mendengar debaran jantungmu dan hembusan napas teratur ketika kamu tertidur.
Ya, diam-diam aku selalu menikmati wajah tidurmu dan mendengarkan debaran
jantungmu, merengkuh kenyamanan dalam lautan cintamu.
10 tahun aku hidup
denganmu, menghirup aroma tubuhmu yang begitu khas, tak tergantikan. Aroma
tubuhmu yang semakin menguat ketika hujan turun, seperti saat ini.
Aku duduk disofa di
rumah kita, rumah yang dulu kamu hadiahkan untukku. Sofa favorit tempat kita
menghabiskan malam panjang, menunggu hujan reda, menikmati hujan, seperti malam
ini. Walau aku tanpa kamu, tapi samar aku mencium aromamu, mungkin imajiku yang
menghadirkan aromamu, seketika bersama hujan yang turun.
Aku merindukanmu
setiap kali hujan, terlebih malam ini. Malam perceraian kita.
Setahun yang lalu,
bersama hujan yang turun, kita menghabiskan malam di sofa ini. Aku dengan
secangkir kopi, minuman kesukaanmu dan kamu dengan pepermint tea, pilihanku,
biasanya. Entah mengapa malaam itu kita bertukar minuman. Mungkin karena kita
ingin saling menyimpan kenangan dan rasa.
Malam itu aku menahan
air mata dan kamu terdiam dalam kebisuan. Berjarak. Seakan orang asing tidak
saling kenal.
Tubuh kita lebih
jujur. Jemari kita terjalin, tidak ingin terpisahkan. Kaki kita saling terkait,
berbagi kehangatan.
Hingga ketika malam
semakin renta, kamu memecah bisu, mengucap maaf berulang kali. Dan aku hanya
mampu terdiam, menahan tangis, aku tidak ingin air mataku merusak kebulatan
tekadmu dan kekuatanku untuk merelakanmu.
Secangkir kopi dan
teh yang tidak lagi panas. Seperti kita, mendingin.
Pagi itu, gerimis.
Untuk terakhir
kalinya aku merapikan dasimu, menyiapkan koran disamping sarapanmu, sepiring
nasi goreng dan telur ceplok serta segelas jus jeruk. Hingga sekarang aku masih
mengingatnya dengan jelas, semua tentang kamu.
Kemeja hitam, dasi
merah.
Gaun baby pink,
cardigan hitam.
Dan talak itu
terucap. Melepas semua ikatan, meniadakan kita. Hanya menyisakan aku dan kamu.
Senyum terpaksa, air
mata tertahan. Kita berdua adalah pecundang hari itu. Tida ada seorang pun yang
menjadi pemenang. Kalau pun ada mungkin ibumu dan wanita sempurna yang beliau pilihkan
untuk mendampingimu. Penggantiku.
Pengganti. Entah
mengapa kata itu terasa menyakitkan.
Hujan, sepertinya aku
harus menghilangkan bayangmu dari hujan. Sama dengan keharusanku menghapusmu
dari hidupku.
Bisakah aku?
Menghapus bayangmu,
menghilangkan aromamu. Setelah beribu hari kita berebut oksigen, menyamakan
detak jantung, mampukah?
Melupakanmu yang
selalu mampu mengubah tangisku menjadi tawa. Yang mengubah sedihku menjadi
seulas senyum. Kamu yang selalu bisa mengusir mendung dalam hariku dan
menggantinya dengan sapuan warna kebahagiaan. Katakan padaku, bagaimana
caranya, katakan.
Melupakan kamu dan
janji yang dulu kamu ucapkan. Janji yang kamu ucapkan dengan
sorot penuh keyakinan dan keteguhan, janji yang membuat pipiku bersemu merah
dan janji yang mencipta senyum di wajah mereka yang menyaksikan terucapnya
janji itu.
Bisakah aku melakukannya, seperti kamu yang sudah mampu tersenyum berjalan
bersisian bersama dengannya?
Bisakah?
Dan hujan masih turun membasahi bumi dengan denting lembutnya dan aroma
khas tanah, tapi tanpa aku yang menatap hujan dari sofa, berhenti berdiam pada
masa lalu, sepuluh tahun yang bahagia.
Sekuat apapun inginku untuk berdiam pada masa lalu, menyesap masa-masa
bahagia kita, tidak akan mungkin mengembalikanmu, mengembalikan kita. Kamu
sudah berbahagia dengannya dan calon anakmu.
Aku harus bergerak maju, meninggalkanmu dam masa lalu yang kita miliki,
menjadikannya sebagai sebuah kenangan dan bersiap untuk membuka bagian baru
dalam hidupku, tanpa bagian cerita tentangmu sedikitpun.
Hujan akan selamanya mengembalikan kenangan kita, kenangan. Hanya kenangan.
***
Sedih bacanya. Huft, begitu ya suara perempuan yang mengalami perceraian? masih ada kenangan yang mungkin akan susah dilupakan dan atau mungkin sebenarnya tidak perlu dilupakan..
ReplyDeleteMakasih udah bersedia membacanya ;)
DeleteSelalu ada kenangan yang membayang pada setiap hubungan yang sudah berakhir :)
Bagus kakkkk! duh, jadi merasa sedih nih..
ReplyDeleteOh ya, maaf nih kak sebelumnya, sepertinya aku melihat beberapa typo di bawah ini :)
Aku. Mungkin. Atau begitu menurut pendapat keluargamu, menurut ibumu yang sudah menjadi ibuku, walau beliau tak pernah menganggapki. --> menanggapi ya maksudnya?
10 tahun aku hidup denganmu, menghirup aroma tubuhmu yang begitu khas, tak tergantikan. Aroma tubuhmu yang semakin menguat ketika hujan turun, sepertu saat ini.--> seperti harusnya ya?
Senyum terpaksa, air mata tertahan. Kita berdua adalah pecundang hari itu. Tida ada seorang pun yang menjadi pemenang. Mungkin ada, ibumu dan wanita sempurna yang beliau pilihkan untuk mendampingimu. Penggantiku. --> tidak ada ya?
Melupakan kamu dan janji yang dulu kamu ucapkan. Janji yang kamu ucapkan dengan sorot penuh keyakinan dan ketegihan, janji yang membuat pipiku bersemu merah dan janji yang mencipta senyum di wajah mereka yang menyaksikan terucapnya janji itu. --> keteguhan, ya?
Aku harus bergerak maju, meninggalkanmu dam masa lalu yang kita miliki, menjadikannya sebagai sebuah kenangan dan bersiap untuk membuka bagian baru dalam hidupku, tanpa bagian cerita tentangmu sedikitpun. --> dan (?)
dan aku paling suka banget sama bagian2 ini :D
Setahun yang lalu, bersama hujan yang turun, kita menghabiskan malam di sofa ini. Aku dengan secangkir kopi, minuman kesukaanmu dan kamu dengan pepermint tea, pilihanku, biasanya. Entah mengapa malaam itu kita bertukar minuman. Mungkin karena kita ingin saling menyimpan kenangan dan rasa.
Dan talak itu terucap. Melepas semua ikatan, meniadakan kita. Hanya menyisakan aku dan kamu. --> sedih banget yg ini :(
Intinya sebenarnya ceritanya bagus deh... menggambarkan karakter sedihnya banget, jadi pengen nangis :")
semangat kak dy untuk karya selanjutnya ^^
Iyaa~ duh. Sering banget typo nih aku ini. Harus lebih teliti. Makasih Joo^^
DeleteSedih ya? Ini ketikan lama. Dulu gegara baca blog ttg perasaan cewek setelah cerai. Senang kalau pembaca (kamu) bisa ikut ngerasain sedihnya. Yeay! Aku berhasil. *lompat-lompat*
Kak... biasanya butuh novel yg bener2 sedih buat aku bisa nangis, tapi kenapa cuma baca kepingan cerita diatas bisa buat aku hampir netes ya? Aaah! Bagus, aku suka kak! :')
ReplyDeleteAaaa *blushing*
Deletemakasih udah mau baca ^^
seriously, ini perfect kaaak ::) aku suka dan nyentuh banget :')
ReplyDeletemasih harus banyak belajar, nih ;)
Deletesendainya aku mampu merangkai kata2 indah & brmakna dlm spt itu, psti aku sdh jd penulis terkenal skr. Tp sayang, mud yg slalu berubah2 mmbuat aku tk juga bisa mewujudkannya :( Sampai skr pun, aku slalu bermimpi & memimpikan sebuah buku yg covernya tertulis namaku sbg pengarangnya.
ReplyDeleteTerima kasih atas inspirasinya mbk, kata2 begitu bermakna, ringan dan mudah dipahami :)
Bisa, pasti bisa.
DeleteYuk, belajar bareng
ini... keren :"
ReplyDeleteMakasiiiih
Delete:') waw.
ReplyDeleteMakasih udah baca^^
ReplyDelete