Tuesday, December 3, 2013

Hujan dan Lukaku

Akhir Januari.

Hujan masih sering menyapa hari. Bahkan terkadang tanpa jeda. tidak menyisakan ruang sedetik pun untuk mentari.

Seperti hari ini. Hujan kembali hadir. Membasahi jendela, menyirami pepohonan dan menguarkan aroma khas milik tanah, aroma yang sangat kucintai, nomor dua setelah mencintaimu. Dulu.

Hujan masih sama seperti setahun yang lalu. Masih beresonansi dengan hatiku. Seketika menghadirkan kamu dan jutaan kepingan kisah. Kisah milik kita. Kisah yang menghadirkan duka dan menegaskan luka. Dukaku dan lukamu.

Setahun.

Sudah setahun sejak tidak ada lagi kita. Sejak kita kembali menjadi dua orang asing, aku tidak lagi berhak apapun atasmu sama seperti kamu yang tidak lagi wajib melindungku.

Setahun sejak aku terpaksa tertatih, berjalan sendirian.

Setahun aku bergumul dengan sesal, sedih dan tanya yang tak pernah usai. Merangkai malam dengan teriakan kesal kepada semesta. Mengapa semesta menalikan benang takdir kita jika akhirnya memaksa kita untuk berpisah? Menjalani hari dengan jutaan kesedihan atas ketidakberdayaanku untuk mempertahankan kita. Menghela napas dengan tanya yang tidak pernah terjawab.

Demi Tuhan. Salahkukah jika ternyata aku tidak sesempurna inginmu? Tidak seistimewa yang diharapkan keluargamu? Tidakkah kamu melihat, bahwa aku hanyalah seorang wanita dengan takdir yang hanya mampu untuk aku jalani tanpa mampu mendebatnya.

Sayang. Masih pantaskah aku memanggilmu dengan sebutan itu? Apa yang sesunguhnya kamu inginkan dariku?

Jendela basah oleh rinai gerimis. Perlahan berembun, memberi ruang bagi jariku untuk, entahlah, mencoret kasar, bebas, tanpa ada yang mengatur tidak seperti hidupku, terpaksa menjalani takdir.

Perceraian.

Setahun lalu, tepat di hari ini talak itu terucap. Aku menerimanya dengan tangis yang tertahan dan kamu mengucapnya dengan sakit yang tak terucap. Sedang cinta yang dulu menyatukan kita, tertunduk sepi, tak diacuhkan.

Hari itu aku berduka dan kamu terluka. Kita berdua kalah. Tidak seorangpun menjadi pemenang.

Dukaku karena kehilangan kamu dan lukamu karena tidak mampu mempertahankanku.

Siapakah yang bersalah?

Aku. Mungkin. Atau begitu menurut pendapat keluargamu, menurut ibumu yang sudah menjadi ibuku, walau beliau tak pernah menganggapku.

Tapi salahkukah itu?

Salahkukah jika ternyata aku bukan wanita yang sempurna? Salahkukah jika aku tidak mampu mengandung benihmu, calon bayimu, penerus nama keluargamu?

10 tahun aku mendengarmu berbisik, bisikan cinta dan pujian betapa aku sempurna. 10 tahun, hanya 10 tahun, sedang aku berharap selamanya, hingga nanti, ketika aku berhenti bernapas.

10 tahun aku terbiasa mendengar debaran jantungmu dan hembusan napas teratur ketika kamu tertidur. Ya, diam-diam aku selalu menikmati wajah tidurmu dan mendengarkan debaran jantungmu, merengkuh kenyamanan dalam lautan cintamu.

10 tahun aku hidup denganmu, menghirup aroma tubuhmu yang begitu khas, tak tergantikan. Aroma tubuhmu yang semakin menguat ketika hujan turun, seperti saat ini.

Aku duduk disofa di rumah kita, rumah yang dulu kamu hadiahkan untukku. Sofa favorit tempat kita menghabiskan malam panjang, menunggu hujan reda, menikmati hujan, seperti malam ini. Walau aku tanpa kamu, tapi samar aku mencium aromamu, mungkin imajiku yang menghadirkan aromamu, seketika bersama hujan yang turun.

Aku merindukanmu setiap kali hujan, terlebih malam ini. Malam perceraian kita.

Setahun yang lalu, bersama hujan yang turun, kita menghabiskan malam di sofa ini. Aku dengan secangkir kopi, minuman kesukaanmu dan kamu dengan pepermint tea, pilihanku, biasanya. Entah mengapa malaam itu kita bertukar minuman. Mungkin karena kita ingin saling menyimpan kenangan dan rasa.

Malam itu aku menahan air mata dan kamu terdiam dalam kebisuan. Berjarak. Seakan orang asing tidak saling kenal.

Tubuh kita lebih jujur. Jemari kita terjalin, tidak ingin terpisahkan. Kaki kita saling terkait, berbagi kehangatan.

Hingga ketika malam semakin renta, kamu memecah bisu, mengucap maaf berulang kali. Dan aku hanya mampu terdiam, menahan tangis, aku tidak ingin air mataku merusak kebulatan tekadmu dan kekuatanku untuk merelakanmu.

Secangkir kopi dan teh yang tidak lagi panas. Seperti kita, mendingin.

Pagi itu, gerimis.

Untuk terakhir kalinya aku merapikan dasimu, menyiapkan koran disamping sarapanmu, sepiring nasi goreng dan telur ceplok serta segelas jus jeruk. Hingga sekarang aku masih mengingatnya dengan jelas, semua tentang kamu.

Kemeja hitam, dasi merah.

Gaun baby pink, cardigan hitam.

Dan talak itu terucap. Melepas semua ikatan, meniadakan kita. Hanya menyisakan aku dan kamu.

Senyum terpaksa, air mata tertahan. Kita berdua adalah pecundang hari itu. Tida ada seorang pun yang menjadi pemenang. Kalau pun ada mungkin ibumu dan wanita sempurna yang beliau pilihkan untuk mendampingimu. Penggantiku.

Pengganti. Entah mengapa kata itu terasa menyakitkan.

Hujan, sepertinya aku harus menghilangkan bayangmu dari hujan. Sama dengan keharusanku menghapusmu dari hidupku.

Bisakah aku?

Menghapus bayangmu, menghilangkan aromamu. Setelah beribu hari kita berebut oksigen, menyamakan detak jantung, mampukah?

Melupakanmu yang selalu mampu mengubah tangisku menjadi tawa. Yang mengubah sedihku menjadi seulas senyum. Kamu yang selalu bisa mengusir mendung dalam hariku dan menggantinya dengan sapuan warna kebahagiaan. Katakan padaku, bagaimana caranya, katakan.

Melupakan kamu dan janji yang dulu kamu ucapkan. Janji yang kamu ucapkan dengan sorot penuh keyakinan dan keteguhan, janji yang membuat pipiku bersemu merah dan janji yang mencipta senyum di wajah mereka yang menyaksikan terucapnya janji itu.

Bisakah aku melakukannya, seperti kamu yang sudah mampu tersenyum berjalan bersisian bersama dengannya?

Bisakah?

Dan hujan masih turun membasahi bumi dengan denting lembutnya dan aroma khas tanah, tapi tanpa aku yang menatap hujan dari sofa, berhenti berdiam pada masa lalu, sepuluh tahun yang bahagia.

Sekuat apapun inginku untuk berdiam pada masa lalu, menyesap masa-masa bahagia kita, tidak akan mungkin mengembalikanmu, mengembalikan kita. Kamu sudah berbahagia dengannya dan calon anakmu.

Aku harus bergerak maju, meninggalkanmu dam masa lalu yang kita miliki, menjadikannya sebagai sebuah kenangan dan bersiap untuk membuka bagian baru dalam hidupku, tanpa bagian cerita tentangmu sedikitpun.

Hujan akan selamanya mengembalikan kenangan kita, kenangan. Hanya kenangan. ***



14 comments:

  1. Sedih bacanya. Huft, begitu ya suara perempuan yang mengalami perceraian? masih ada kenangan yang mungkin akan susah dilupakan dan atau mungkin sebenarnya tidak perlu dilupakan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih udah bersedia membacanya ;)
      Selalu ada kenangan yang membayang pada setiap hubungan yang sudah berakhir :)

      Delete
  2. Bagus kakkkk! duh, jadi merasa sedih nih..

    Oh ya, maaf nih kak sebelumnya, sepertinya aku melihat beberapa typo di bawah ini :)

    Aku. Mungkin. Atau begitu menurut pendapat keluargamu, menurut ibumu yang sudah menjadi ibuku, walau beliau tak pernah menganggapki. --> menanggapi ya maksudnya?

    10 tahun aku hidup denganmu, menghirup aroma tubuhmu yang begitu khas, tak tergantikan. Aroma tubuhmu yang semakin menguat ketika hujan turun, sepertu saat ini.--> seperti harusnya ya?


    Senyum terpaksa, air mata tertahan. Kita berdua adalah pecundang hari itu. Tida ada seorang pun yang menjadi pemenang. Mungkin ada, ibumu dan wanita sempurna yang beliau pilihkan untuk mendampingimu. Penggantiku. --> tidak ada ya?


    Melupakan kamu dan janji yang dulu kamu ucapkan. Janji yang kamu ucapkan dengan sorot penuh keyakinan dan ketegihan, janji yang membuat pipiku bersemu merah dan janji yang mencipta senyum di wajah mereka yang menyaksikan terucapnya janji itu. --> keteguhan, ya?

    Aku harus bergerak maju, meninggalkanmu dam masa lalu yang kita miliki, menjadikannya sebagai sebuah kenangan dan bersiap untuk membuka bagian baru dalam hidupku, tanpa bagian cerita tentangmu sedikitpun. --> dan (?)




    dan aku paling suka banget sama bagian2 ini :D

    Setahun yang lalu, bersama hujan yang turun, kita menghabiskan malam di sofa ini. Aku dengan secangkir kopi, minuman kesukaanmu dan kamu dengan pepermint tea, pilihanku, biasanya. Entah mengapa malaam itu kita bertukar minuman. Mungkin karena kita ingin saling menyimpan kenangan dan rasa.

    Dan talak itu terucap. Melepas semua ikatan, meniadakan kita. Hanya menyisakan aku dan kamu. --> sedih banget yg ini :(

    Intinya sebenarnya ceritanya bagus deh... menggambarkan karakter sedihnya banget, jadi pengen nangis :")

    semangat kak dy untuk karya selanjutnya ^^


    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa~ duh. Sering banget typo nih aku ini. Harus lebih teliti. Makasih Joo^^

      Sedih ya? Ini ketikan lama. Dulu gegara baca blog ttg perasaan cewek setelah cerai. Senang kalau pembaca (kamu) bisa ikut ngerasain sedihnya. Yeay! Aku berhasil. *lompat-lompat*

      Delete
  3. Kak... biasanya butuh novel yg bener2 sedih buat aku bisa nangis, tapi kenapa cuma baca kepingan cerita diatas bisa buat aku hampir netes ya? Aaah! Bagus, aku suka kak! :')

    ReplyDelete
  4. seriously, ini perfect kaaak ::) aku suka dan nyentuh banget :')

    ReplyDelete
  5. sendainya aku mampu merangkai kata2 indah & brmakna dlm spt itu, psti aku sdh jd penulis terkenal skr. Tp sayang, mud yg slalu berubah2 mmbuat aku tk juga bisa mewujudkannya :( Sampai skr pun, aku slalu bermimpi & memimpikan sebuah buku yg covernya tertulis namaku sbg pengarangnya.

    Terima kasih atas inspirasinya mbk, kata2 begitu bermakna, ringan dan mudah dipahami :)

    ReplyDelete