Sembilan tahun yang lalu aku kehilangan banyak wajah yang aku sayangi. Sembilan tahun yang lalu untuk pertama kalinya aku belajar sakitnya perpisahan tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal, tanpa pernah mengantarkan mereka menuju peristirahatan terakhir, tanpa pernah melihat mereka untuk terakhir kalinya.
Sembilan tahun yang lalu untuk pertama kalinya aku mendengar Papa menangis. Papa yang selama ini menjadi lambang kekokohan untuk pertama kalinya menunjukkan kesedihannya. Kesedihan yang wajar mengingat apa yang direnggut dari hidup beliau tanpa ada pemberitahuan awal.
Sembilan tahun yang lalu, ah, ada banyak yang terjadi sembilan tahun yang lalu. Ada banyak kenangan yang tersimpan jauh di sudut kenangan tidak pernah ingin aku buka kembali. Untuk apa mengenang kesedihan?
Tapi hari ini aku dipaksa untuk mengingat semuanya kembali. Tanpa bisa melakukan apa pun kenangan itu mulai bermunculan dan membanjiri kepala. Mereka menghadirkan kembali kesedihan yang mulai terlupa.
Aku membenci hari ini? Tidak. Aku membenci mereka yang memaksa aku kembali mengenangnya. Tapi itu tadi, sebelum aku sadar kalau kenangan itu juga menyimpan sesuatu yang lain.
Sembilan tahun yang lalu aku belajar untuk melihat kematian buat sebagai sesuatu yang harus ditakuti. Aku belajar untuk melihat kematian sebagai sesuatu yang wajar, sama wajarnya dengan kita yang harus bernapas. Kematian adalah bagian dari kehidupan, apa yang harus ditakuti dari itu?
Lagi pula, kematian juga gerbang agar kita bisa bertemu dengan yang kita cintai. Bukankah kita semua mengaku mencintai Tuhan? Lantas apa yang perlu kita takuti darinya?
Kematian itu wajar, tidak menakutkan dan bisa terjadi kapan saja. Itu arti sembilan tahun yang lalu untukku.
Sembilan tahun yang lalu aku belajar mencintai kematian.
N.B
Teriring doa untuk mereka yang sembilan tahun yang lalu pada hari ini kembali ke Tuhan setelah menari bersama gelombang raksasa yang menyisakan kehancuran.
Semoga jiwa mereka tenang dan suci ketika kembali kepadaNya.
26 Desember 2013, Sembilan tahun setelah tsunami menjemput sebagian besar keluarga Dy
No comments:
Post a Comment