Aku di sini, menghabiskan malam yang semakin memekat dan mengentalkan hening, mempertebal kesendirian yang kurasakan. Hampa, disini tanpa kamu, di bukit kenangan, tempat kita meluangkan waktu untuk bersama menyaksikan bintang, hingga fajar menghapuskan kekuasaan malam. Dingin, aku mencari lintingan yang selalu kamu sebut dengan racun pada sakuku. Membakarnya cepat dan menghisapnya, mencari hangat yang aku butuhkan saat ini. Walau aku tahu hanya membutuhkan sepotong kata darimu untuk menghangatkan hatiku. Kamu tahu kenapa, karena aku merindukanmu, sangat.
Gadisku, apa yang sedang kamu lakukan saat ini? Merasakah kamu bahwa aku merindukanmu dengan sangat saat ini?
Sudah seminggu, lebih dari seminggu aku tidak medengar suaramu. Ingin aku menelponmu, meski hanya mendengar desahan nafasmu, tapi aku selalu ragu ketika ingin menelponmu, aku takut. Entah apa yang aku takutkan. Mungkin aku takut dengan pertanyaanmu, kenapa aku selalu menelponmu, kenapa tidak mereka yang lain? Aku takut, karena di depanmu aku tidak pernah mampu untuk berbohong. Mungkin aku takut lidahku tanpa terkendali akan mengucap cinta yang seharusnya tidak kuucapkan, kamu tahu kenapa? karena sungguh aku tidak ingin kamu menghilang dari hidupku.
Tuhan, kenapa rindu ini begitu menyiksa?
Gadisku, sedang apa dirimu?
Aku menekan nomormu, perlahan, dimulai dari angka pertama, dan berhenti ketika akan mengetikkan angka terakhir.
Aku merindukanmu. Dari semua kenangan yang kita miliki, kebiasaan yang terjadi antara aku dan kamu, aku sangat rindu dengan desahan napasmu ketika kamu tertidur. Kamu tentu akan terkejut jika mendengar ini. Aku yakin kamu tidak memiliki kenangan itu, kamu sedang tertidur saat itu. Pada saatnya, tentu aku akan menceritakannya, saat ketika kamu tertidur ditengah pembicaraan melalui telpon yang kita lakukan, aku mendengarkan desahan napasmu dan aku membayangkan wajah damaimu ketika tertidur, itu adalah saat yang paling membahagiakan untukku.
Dan saat ini, aku merindukannya.
Sungguh aku sangat ingin mendengarkan suaramu saat ini, desahan napasmu yang berirama dalam tidur panjangmu, aku merindukanmu, dengan rindu yang hanya mungkin dimiliki oleh bulan yang tak mungkin lagi bersatu dengan bumi.
Menatap langit malam, mencari rasi bintang zodiakmu, pisces. Tapi apa yang aku temukan? hanya bayangan wajahmu.
Aku merindukanmu.
Seandainya hanya ada rindu. Tapi tidak hanya rindu, ada keinginan kuat untuk berteriak dengan lantang bahwa kamu adalah gadisku, tapi untuk itu bukankah aku harus memiliki keberanian untuk meminta kesedianmu? Gadisku. Sebuah kata yang indah, yang sungguh ingin aku ucapkan, untuk meyakinkan dunia bahwa kamu adalah cintaku, seseorang yang akan aku bahagiakan, selamanya.
Apa yang sedang kamu lakukan disana gadisku? Apakah kamu memikirkanku seperti aku memikirkanmu? Ataukah aku terlalu berharap?
Dan malam semakin pekat, tidak menyisakan apapun, kecuali embun yang mulai menunjukkan diri.
Terlalu malam untuk menelponmu. Aku memilih untuk mematikan lintingan itu, mengancingkan jaketku, dan menghidupkan motorku. membelah malam dengan kerinduan yang semakin membuncah.
Maukah kamu menungguku? Hingga aku memiliki keberanian untuk menemuimu dan memintamu menjadi gadisku?
Saat ini, biarkan kerinduan itu yang menjadi tokoh utama dalam kisah kita, seandainya nanti ada kita, biarkan kerinduan itu membuatku mendoakanmu dalam kebisuan dan jarak.
Maukah kamu menungguku, gadisku?
No comments:
Post a Comment