Pria itu tersenyum memandang kosong di sampingnya,
sesaat sebelum matanya kembali menghadirkan sendu yang pekat. Seharusnya ada
sang gadis disampingnya, menemaninya sepanjang perjalanan. Menyandarkan tubuhnya
pada salah satu tiang di dekat pintu lalu mengaitkan jemarinya pada pegangan
yang tersedia. Jemari yang seharusnya menggenggam erat jemari kekasihnya, sang
gadis.
Memandang jauh,
entah kemana. Dia hanya ingin mengaburkan semua kenangan yang dia miliki,
kenangan selama dua puluh menit, setiap harinya. Kenangan bersama dengan
kekasihnya, mantan kekasihnya. Dua puluh menit
yang sempurna, dua puluh menit yang selalu menjadi alasannya untuk terbangun di
pagi hari dan tersenyum ketika hari kembali berakhir. Hanya dua puluh menit.
Pria itu pertama
kali bertemu dengan sang gadis siang itu. Ketika kesedihan tergambar dengan
jelas pada wajah sang gadis, tapi sang gadis masih menyempatkan untuk
menyapanya, sebuah sapaan yang mungkin basa-basi tapi itu menghadirkan hangat
yang membuatnya tidak mampu mengalihkan pandangan dari sang gadis.
Dan ketika sang gadis menangis, melepas
kesedihan yang dirasakan olehnya, pria itu hanya mampu menatapnya, walau
sungguh dirinya ingin berada disamping sang gadis dan berbagi kesedihan bersama
dengannya.
Namun ketika
seluruh penumpang bus memperhatikannya, dia tidak mampu menahan dirinya untuk
tidak melakukan apapun. Pria itu mengambil sapu tangan dari saku celananya,
lalu mengulurkan pada sang gadis, mungkin dia tidak berhak untuk menghapus
airmata sang gadis, tapi sapu tangan miliknya mungkin mampu melakukan hal itu.
Keputusan yang
salah, karena sejak saat itu, dua puluh menit itu berubah menjadi sesuatu yang
tak tergantikan.
Sang gadis,
berseragam kemeja putih dengan bordiran lambang sekolahnya pada saku kiri dan
rok bermotif kotak-kotak, dari balik kerah kemeranya terlihat kalung perak
dengan liontin salib, kaos kaki setinggi betis dan sepatu hitam tersemir
sempurna. Seorang murid sekolah Katolik terbaik di kota ini. Rambut hitam dan
lurus dipotong sebahu berhiaskan bando, kacamata yang membingkai mata sipit
miliknya, bibir merah kontras dengan kulit putih miliknya, warisan dari
moyangnya yang asli berasal dari Cina. Menjadi seorang yang selalu dirindukan
hadirnya, setiap hari.
Seiring dengan
berlalunya waktu, dua puluh menit itu berlalu dengan saling bercerita, walau
sesungguhnya pria itu hanya mendengarkan cerita sang gadis, perlahan mereka
saling membuka diri. Dan perlahan
kata-kata mulai kehilangan makna, mereka menikmati hening yang hadir. Hening
milik mereka berdua dan hanya mereka yang mampu mengartikannya.
Pria itu tahu
tentang hatinya yang berdesir setiap kali menatap sang gadis. Pria itu mengerti
mengapa dirinya selalu menunggu sosok sang gadis, setiap harinya. Dan pria itu
paham mengapa dua puluh menit itu menjadi alasan untuknya tersenyum. Cinta
menyebab semua yang dirasakannya. Tapi pria itu tidak mampu untuk
mengucapkannya.
Ternyata kata itu
tidak perlu untuk diucapkan. Tanpa perlu untuk diucapkan rasa itu akan memancar
keluar dari kulit dan terlihat dalam sikap, sebuah ketulusan yang tidak
terganti. Tanpa perlu diucapkan, sang gadis mengerti tentang rasa yang dimiliki
oleh pria itu, dan membalasnya dengan ketulusan yang sama, walau terkadang sang
gadis masih menuntut kata itu terucapkan.
Mereka menikmati
dua puluh menit yang mereka miliki. Dua puluh menit waktu perjalanan dari halte
sekolah sang gadis hingga halte terdekat dari rumahnya. Dua puluh menit untuk
berpuas menatap wajah yang dimimpikannya hampir pada setiap tidurnya. Dua puluh
menit untuk menggenggam jemari gadis yang dirindukannya, menghirup aroma tubuh
gadisnya. Dua puluh menit yang tidak tergantikan.
Pria itu berharap,
tanpa perlu mengucapkan apa yang dirasakannya, tanpa perlu mengumumkan ada
dunia bahwa sang gadis adalah gadisnya, mereka akan bertahan selamanya, tidak
terpisahkan. Pria itu salah, pria itu lupa bahwa terkadang hidup memilih jalan
yang berbeda dengan apa yang direncanakan.
Cinta itu mungkin
tidak terucap, tapi cinta itu hadir dan semakin menguat diantara mereka.
Mencipta ingin sang gadis itu memberitahukan dunia tentang pria yang
mencintainya. Hingga sang gadis berulang kali bertanya, memastikan rasa yang
dimiliki oleh pria itu.
Dan ketika sang
gadis bertanya,memandang melalui bingkai kacamatanya dan bibir merahnya
bergetar halus ketika menanyakannya, cintakah? Jawaban apa yang mampu diberikan
oleh pria itu selain mengucapkan apa yang dirasakan olehnya dengan jujur,
menahan takut yang hadir.
Tapi sejak itu
terucap, ketakutan itu hadir dan membesar menguasai dirinya. Dua puluh menit
milik mereka tidak lagi pernah sama, paling tidak untuk pria itu. Untuk sang
gadis dua puluh menit mereka mungkin menjadi semakin indah, bukankah si pria
sudah mengucapkan cinta meyakinkan rasa yang dimilikinya, hubungan yang mereka
bangun hari demi hari.
Pria itu menarik
napas panjang, mengembalikan dirinya dari kenangan dua puluh menit mereka. Dua
puluh menit tentang cinta mereka.
Cinta.
Cinta itu terkadang
buta, sungguh buta hingga tidak pernah memilih kepada siapa akan hadir dan
menyapa. Cinta itu buta terhadap perbedaan, sayangnya perbedaan itu sering kali
menjadi pemisah yang tak mungkin disatukan. Perbedaan yang
mereka miliki, terlalu dalam dan banyak. Sang gadis menggenakan kalung salib
yang menegaskan keyakinannya, dan pria itu dari namanya sudah tergambar
keyakinan yang dipilihnya, mereka berbeda.
Pria itu memilih
untuk menghilang dari hidup sang gadis, gadisnya terlalu berharga untuk
menangis, terlalu terjal jalan yang akan mereka lalui seandainya mereka ingin
bersama. Cinta itu mungkin buta, mungkin selalu sederhana, tapi cinta juga
keberanian untuk melepaskan orang yang dicintainya. Dan itu yang pria itu
pilih, memilih untuk melepaskan gadisnya. Sungguh berat, tapi ini demi
kebahagiaan gadisnya, gadis yang dicintainya.
Kini si pria itu
kembali, setelah berbulan menghilang. Kembali hanya untuk mengaburkan kenangan
miliknya, kenangan dua puluh menit yang merayakan cinta milik mereka. Kenangan
yang ingin disimpannya jauh pada sudut hatinya.
Perlahan dia turun
ketika bus berhenti di halte sang gadis,
tempat dia memulai perjalanan ini, tadi. Kembali ke titik awal perjalanan,
terkadang adalah cara terbaik untuk memulai perjalanan yang baru. Berharap
kisah yang lalu sudah berakhir benar-benar berakhir.
Berdiam sesaat di
halte itu, mencari sosok yang dirindukannya, dirindukan dengan saat hingga
meresahkan malam-malam yang dilaluinya.
Dan dia
menemukannya, sang gadis, gadisnya.
Mungkin bukan lagi
gadisnya karena sang gadis kini sedang tersipu mendengar ucapan seorang pemuda
yang jemarinya tergenggam erat dalam jemarinya.
Pipi yang merona
karena dirinya, kini merona karena pemuda lain. Tatapan dari balik bingkai
kacamata yang hanya menatap dirinya kini telah menatap pemuda lain. Bibir merah
yang mengulas senyum hanya untuknya tidak lagi mengulas senyum hanya untuknya.
Dia sudah terlupakan, hanya menjadikannya sebagai kenangan, bagian dari kisah
masa lalu.
Pria itu menatap
jemarinya, jemari yang dulu menjalin erat jemari sang gadis. Kembali menatap
sang gadis, lalu tersenyum.
“Mencintaimu adalah tersenyum saat dirimu
bahagia, bersama denganku ataupun tidak,” lirih pria itu berucap sebelum pada
akhirnya berlalu dari halte tersebut.
Gadisnya bahagia saat ini, hanya itu yang
dibutuhkan olehnya sebelum memulai perjalanan baru miliknya.
Selamat tinggal cinta.
Ah entahlah aku tak bisa berkomentar lagi akan indahnya cinta yang terdapat pada artikel ini.
ReplyDeletenice kak :)
Hai, makasih udah baca dan senang kamu suka.
DeleteAnyway, ini bukan artikel, ini cerpen :)
Sering-sering mampir yaaa