Tuesday, April 15, 2014

20 Menit Tentang Cinta

Pria itu tersenyum memandang kosong di sampingnya, sesaat sebelum matanya kembali menghadirkan sendu yang pekat. Seharusnya ada sang gadis disampingnya, menemaninya sepanjang perjalanan. Menyandarkan tubuhnya pada salah satu tiang di dekat pintu lalu mengaitkan jemarinya pada pegangan yang tersedia. Jemari yang seharusnya menggenggam erat jemari kekasihnya, sang gadis.

Memandang jauh, entah kemana. Dia hanya ingin mengaburkan semua kenangan yang dia miliki, kenangan selama dua puluh menit, setiap harinya. Kenangan bersama dengan kekasihnya, mantan kekasihnya. Dua puluh menit yang sempurna, dua puluh menit yang selalu menjadi alasannya untuk terbangun di pagi hari dan tersenyum ketika hari kembali berakhir. Hanya dua puluh menit.

Pria itu pertama kali bertemu dengan sang gadis siang itu. Ketika kesedihan tergambar dengan jelas pada wajah sang gadis, tapi sang gadis masih menyempatkan untuk menyapanya, sebuah sapaan yang mungkin basa-basi tapi itu menghadirkan hangat yang membuatnya tidak mampu mengalihkan pandangan dari sang gadis.

Dan ketika sang gadis menangis, melepas kesedihan yang dirasakan olehnya, pria itu hanya mampu menatapnya, walau sungguh dirinya ingin berada disamping sang gadis dan berbagi kesedihan bersama dengannya.

Namun ketika seluruh penumpang bus memperhatikannya, dia tidak mampu menahan dirinya untuk tidak melakukan apapun. Pria itu mengambil sapu tangan dari saku celananya, lalu mengulurkan pada sang gadis, mungkin dia tidak berhak untuk menghapus airmata sang gadis, tapi sapu tangan miliknya mungkin mampu melakukan hal itu.

Keputusan yang salah, karena sejak saat itu, dua puluh menit itu berubah menjadi sesuatu yang tak tergantikan.

Sang gadis, berseragam kemeja putih dengan bordiran lambang sekolahnya pada saku kiri dan rok bermotif kotak-kotak, dari balik kerah kemeranya terlihat kalung perak dengan liontin salib, kaos kaki setinggi betis dan sepatu hitam tersemir sempurna. Seorang murid sekolah Katolik terbaik di kota ini. Rambut hitam dan lurus dipotong sebahu berhiaskan bando, kacamata yang membingkai mata sipit miliknya, bibir merah kontras dengan kulit putih miliknya, warisan dari moyangnya yang asli berasal dari Cina. Menjadi seorang yang selalu dirindukan hadirnya, setiap hari.

Seiring dengan berlalunya waktu, dua puluh menit itu berlalu dengan saling bercerita, walau sesungguhnya pria itu hanya mendengarkan cerita sang gadis, perlahan mereka saling membuka diri.  Dan perlahan kata-kata mulai kehilangan makna, mereka menikmati hening yang hadir. Hening milik mereka berdua dan hanya mereka yang mampu mengartikannya.

Pria itu tahu tentang hatinya yang berdesir setiap kali menatap sang gadis. Pria itu mengerti mengapa dirinya selalu menunggu sosok sang gadis, setiap harinya. Dan pria itu paham mengapa dua puluh menit itu menjadi alasan untuknya tersenyum. Cinta menyebab semua yang dirasakannya. Tapi pria itu tidak mampu untuk mengucapkannya.

Ternyata kata itu tidak perlu untuk diucapkan. Tanpa perlu untuk diucapkan rasa itu akan memancar keluar dari kulit dan terlihat dalam sikap, sebuah ketulusan yang tidak terganti. Tanpa perlu diucapkan, sang gadis mengerti tentang rasa yang dimiliki oleh pria itu, dan membalasnya dengan ketulusan yang sama, walau terkadang sang gadis masih menuntut kata itu terucapkan.

Mereka menikmati dua puluh menit yang mereka miliki. Dua puluh menit waktu perjalanan dari halte sekolah sang gadis hingga halte terdekat dari rumahnya. Dua puluh menit untuk berpuas menatap wajah yang dimimpikannya hampir pada setiap tidurnya. Dua puluh menit untuk menggenggam jemari gadis yang dirindukannya, menghirup aroma tubuh gadisnya. Dua puluh menit yang tidak tergantikan.

Pria itu berharap, tanpa perlu mengucapkan apa yang dirasakannya, tanpa perlu mengumumkan ada dunia bahwa sang gadis adalah gadisnya, mereka akan bertahan selamanya, tidak terpisahkan. Pria itu salah, pria itu lupa bahwa terkadang hidup memilih jalan yang berbeda dengan apa yang direncanakan.

Cinta itu mungkin tidak terucap, tapi cinta itu hadir dan semakin menguat diantara mereka. Mencipta ingin sang gadis itu memberitahukan dunia tentang pria yang mencintainya. Hingga sang gadis berulang kali bertanya, memastikan rasa yang dimiliki oleh pria itu.

Dan ketika sang gadis bertanya,memandang melalui bingkai kacamatanya dan bibir merahnya bergetar halus ketika menanyakannya, cintakah? Jawaban apa yang mampu diberikan oleh pria itu selain mengucapkan apa yang dirasakan olehnya dengan jujur, menahan takut yang hadir.

Tapi sejak itu terucap, ketakutan itu hadir dan membesar menguasai dirinya. Dua puluh menit milik mereka tidak lagi pernah sama, paling tidak untuk pria itu. Untuk sang gadis dua puluh menit mereka mungkin menjadi semakin indah, bukankah si pria sudah mengucapkan cinta meyakinkan rasa yang dimilikinya, hubungan yang mereka bangun hari demi hari.

Pria itu menarik napas panjang, mengembalikan dirinya dari kenangan dua puluh menit mereka. Dua puluh menit tentang cinta mereka.

Cinta.

Cinta itu terkadang buta, sungguh buta hingga tidak pernah memilih kepada siapa akan hadir dan menyapa. Cinta itu buta terhadap perbedaan, sayangnya perbedaan itu sering kali menjadi pemisah yang tak mungkin disatukan. Perbedaan yang mereka miliki, terlalu dalam dan banyak. Sang gadis menggenakan kalung salib yang menegaskan keyakinannya, dan pria itu dari namanya sudah tergambar keyakinan yang dipilihnya, mereka berbeda.

Pria itu memilih untuk menghilang dari hidup sang gadis, gadisnya terlalu berharga untuk menangis, terlalu terjal jalan yang akan mereka lalui seandainya mereka ingin bersama. Cinta itu mungkin buta, mungkin selalu sederhana, tapi cinta juga keberanian untuk melepaskan orang yang dicintainya. Dan itu yang pria itu pilih, memilih untuk melepaskan gadisnya. Sungguh berat, tapi ini demi kebahagiaan gadisnya, gadis yang dicintainya.

Kini si pria itu kembali, setelah berbulan menghilang. Kembali hanya untuk mengaburkan kenangan miliknya, kenangan dua puluh menit yang merayakan cinta milik mereka. Kenangan yang ingin disimpannya jauh pada sudut hatinya.

Perlahan dia turun ketika bus berhenti di  halte sang gadis, tempat dia memulai perjalanan ini, tadi. Kembali ke titik awal perjalanan, terkadang adalah cara terbaik untuk memulai perjalanan yang baru. Berharap kisah yang lalu sudah berakhir benar-benar berakhir.

Berdiam sesaat di halte itu, mencari sosok yang dirindukannya, dirindukan dengan saat hingga meresahkan malam-malam yang dilaluinya.

Dan dia menemukannya, sang gadis, gadisnya.

Mungkin bukan lagi gadisnya karena sang gadis kini sedang tersipu mendengar ucapan seorang pemuda yang jemarinya tergenggam erat dalam jemarinya.

Pipi yang merona karena dirinya, kini merona karena pemuda lain. Tatapan dari balik bingkai kacamata yang hanya menatap dirinya kini telah menatap pemuda lain. Bibir merah yang mengulas senyum hanya untuknya tidak lagi mengulas senyum hanya untuknya. Dia sudah terlupakan, hanya menjadikannya sebagai kenangan, bagian dari kisah masa lalu.

Pria itu menatap jemarinya, jemari yang dulu menjalin erat jemari sang gadis. Kembali menatap sang gadis, lalu tersenyum.

“Mencintaimu adalah tersenyum saat dirimu bahagia, bersama denganku ataupun tidak,” lirih pria itu berucap sebelum pada akhirnya berlalu dari halte tersebut.


Gadisnya bahagia saat ini, hanya itu yang dibutuhkan olehnya sebelum memulai perjalanan baru miliknya.

Selamat tinggal cinta.



2 comments:

  1. Ah entahlah aku tak bisa berkomentar lagi akan indahnya cinta yang terdapat pada artikel ini.
    nice kak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, makasih udah baca dan senang kamu suka.
      Anyway, ini bukan artikel, ini cerpen :)
      Sering-sering mampir yaaa

      Delete