Monday, July 28, 2014

Do I Have The Right?

"Hei?" dari balik cangkir macchiato mata besarnya menatapnya, "Do you thing I have right to be get married with someone? To be happy?"

Refleks aku tertawa mendengar pertanyaannya. Sudah hampir sepuluh tahun sejak pertama kali kami berkenalan tapi dia masih sering mengejutkanku dengan pertanyaan-pertanyaan aneh, seperti yang satu ini. Well, dia memang berbeda. Dia istimewa.

"Hei! Aku serius ini, kenapa kamu malah ketawa, sih?!" Mata besarnya membulat kesal.

"Pertanyaanmu aneh," aku mengaduk ice lemon tea pesananku, "Kamu punya berapa banyak stok pertanyaan aneh, sih? Kok enggak pernah habis?"

"Aneh?" Dia kembali melemparkan tatapan kesal ke arahku, "Bagian mananya yang aneh coba?" Dia memberengutkan wajahnya, "Kamu yang aneh! Orang nanya bukannya dijawab malah diketawain. Huh!"

Aku tersenyum dan kembali menganduk ice lemon tea. Aku sudah terlalu mengenalnya hingga tahu kalau dia tidak benar-benar marah. Dia tidak pernah bisa marah kepadaku.

"Kenapa kamu nanya gitu?"

Dia mengangkat bahunya sambil menarik napas panjang sebelum mengalihkan pandangannya ke arah jendela cafe. Selama beberapa saat dia menatap pemandangan lalu lintas yang terlihat dari jendela. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku memilih untuk menyesap ice lemon tea sambil memperhatikannya. Memberikan ruang untuknya. Aku selalu suka memperhatikan eksresinya. Well, dia bukan orang yang ekspresif tapi gerakan dan sorot matanya selalu menarik, seakan tidak pernah lelah bercerita, seperti sekarang.

"I'm not good with people," dia memecah keheningan di antara kami, "Kamu udah kenal aku lama. Kamu pasti tahu kalau berhubungan dengan orang enggak pernah menarik buatku. Aku selalu milih ngelakuin apa-apa sendiri, teman bisa dihitung dengan jari apa lagi sahabat," dia menarik napas panjang, "Jangankan dengan orang asing, dengan keluarga sendiri aja aku sering merasa enggak nyaman. Kamu ingat kapan terakhir kali aku datang ke acara keluarga?"

"Aku menganggukkan kepalaku pelan," Dua tahun yang lalu. Itu juga terpaksa karena kamu terlanjur janjian sama Mama kamu dan kamu cuma kuat bertahan selama satu jam."

"See? I'm not good with people," dia mengajak rambutnya, "Kamu bisa bayangin aku nikah?

Lagi, aku menganggukkan kepalaku. Aku pernah, well, sering membayangkan dia menikah. Dia akan menjadi pengantin yang mengundang decak kagum sekaligus iri. Kebaya brokat putih yang menyapu lantai, jarik yang terlilit sempurna, riasan wajah yang natural serta sanggul modern dengan hiasan bung anggrek kesukaannya. Dia akan menjadi pengantin tercantik yang pernah aku kenal."

Dia tersenyum tipis, "Setop! Aku nanya kamu bisa bayangin aku nikah bukan bayangin aku jadi pengantin!"

"Shit!" Aku memaki pelan dan tawa kami pecah berderai. Aku lupa kalau dia selalu bisa membaca pikiranku. Dia memang menyebalkan.

"Aku enggak pernah bisa awet berhubungan dengan orang lain," tawanya berganti dengan senyum pahit, "Cuma kamu yang bisa bertahan selama ini. Hei, kenapa kamu masih bertahan?"

Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaannya. Aku yakin dia hanya sekedar bertanya, dia tidak benar-benar membutuhkan jawaban dariku.

"Hubungan dengan manusia itu membingungkan," dia menyandarkan punggungnya dan kembali menatap ke arah jendela, "Kebutuhan, kepentingan, emosi, terlalu banyak yang harus dipertimbangkan. Membingungkan."

Aku menghabiskan ice lemon tea sambil memperhatikannya. Dia cantik tapi dia tidak pernah pintar dalam berhubungan dengan orang lain. Setiap kali aku mengajaknya hang out atau menjadi plus one-ku dia selalu memilih untuk duduk diam di sudut sambil menikmati makanannya. Dia tidak pernah terlibat pembicaraan dengan orang lain kecuali ada yang mengajaknya berbicara. Dia juga tidak pernah suka kalau ada yang terlalu ingin tahu tentang dirinya. Dia seperti dikeliling oleh berlapir benteng yang kokoh. Aku yang sudah berteman dengannya selama sepuluh tahun saja masih belum berhasil menembus bentengnya. Terlalu banyak. Terlalu kokoh.

"Nikah, itu enggak pernah ada dalam rencana hidupku," dia mengetukkan jarinya pada kaca jendela, "Tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku sering memikirkannya."

"Hm," aku bergumam sambil menggigit es batu, kebiasaan yang masih belum berhasil aku hilangkan, "Kenapa? Kamu lagi jatuh cinta? Atau Mama mulai menerormu dengan pertanyaan kapan nikah?"

"Bukan," dia berhenti mengetuk-ketuk kaca jendela dan menatapku lekat, "I'm tired being alone."

Dan untuk pertama kalinya aku melihat sorot matanya kosong. Seperti boneka.

8 comments:

  1. Mbak. Itu si aku cewek apa cowok? Aku gak ngeh. Hehhe

    ReplyDelete
  2. nah, lho, menurut kamu?
    hehehe, sejujurnya aku belum memutuskan dia cowok atau cewek :D

    ReplyDelete
  3. Lanjutin kaakk terusannya bikin kepoo :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihi, bentar aku masih mikir lanjutannya..nulis tanpa rencana kemarin itu :p

      Delete
  4. si dia ini mirip banget sama aku.. jadi malu /o\
    tapi aku belum lelah untuk sendiri hahaha

    ReplyDelete