Wednesday, October 1, 2014

Aku Jatuh Cinta

"Aku jatuh cinta."

"Kamu, apa?!" Dia hampir tersedak blueberry muffin yang sedang dinikmatinya, "Kamu bilang apa tadi?"

"Aku jatuh cinta," aku kembali mengulang kalimat yang sama dan dengan nada yang sama.

"Kamu," dia membersihkan sudut bibirnya, "Kamu jatuh cinta?"

Aku menganggukkan kepala dengan yakin. Reaksinya benar-benar membuatku bingung tidak ada yang salah dengan jatuh cinta.

"Sama siapa?" Dia meletakan sendoknya dan sekarang perhatiannya tertuju padaku.Seratus persen.

"Well," aku menyesap lemon tea, minuman yang selalu aku pesan setiap kali menghabiskan waktu di kafe berdua dengannya, "Apa itu penting?"

"Tentu saja itu penting!" Dia bersungut kesal, "Jadi, sama siapa?"

Aku sengaja tidak menjawab pertanyaannya dengan berlama-lama menyesap minumanku. Membuatnya penasaran adalah salah satu kegiatan favoritku.

"Sama siapa?" Dia mengulang pertanyaannya dengan nada yang lebih mendesak.

"Hmmm."

"Kamu jatuh cinta sama aku?"

Aku tergelak dan menatapnya tidak percaya, "Aku jatuh cinta sama kamu? Itu enggak mungkin."

"Oh ya?" Dia terlihat tersinggung, "Kenapa enggak mungkin? Aku kurang tante-tante ya buat kamu?"

"Sialan," aku kembali tergelak. Sudah bertahun-tahun sejak aku mencoba berkencan dengan seorang wanita yang lebih tua, jauh lebih tua, dari kami tapi sahabatku ini masih mengingatnya sampai sekarang. Kemampuannya mengingat benar-benar mengerikan, "Berapa umur kita sekarang?"

"Hm, hampir 30, kenapa?" Kebiasaannya yang lain, dia hampir selalu membalas pertanyaan dengan pertanyaan.

"See," aku menatapnya dari balik gelas lemon tea-ku, "Udah waktunya untuk berpikir tentang pernikahan jadi aku enggak mungkin jatuh cinta sama kamu."

"Kenapa?" Dia masih belum puas dengan jawabanku.

"Karena kamu sama sekali enggak punya rencana untuk menikah."

"Jadi sekarang kamu jatuh cinta dengan seseorang dan kamu ingin serius dengannya?"

"Tentu aja! Aku bukan kamu," aku kembali menggodanya, "Aku pengin menikah dan alasannya bukan karena aku capek sendirian."

Dia mendelikan matanya dengan sebal, "Aku enggak tahu kalau kamu masih ingat pembicaraan kita yang itu."

Aku tersenyum. Kalau mau jujur sebenarnya aku mengingat semua tentang dia. Aku mengingat setiap kalimat yang diucapkannya, aku mengingat kesedihannya, kemarahan bahkan aku mengingat hal-hal yang ingin dilupakan olehnya. Seperti alasan kenapa sampai sekarang dia selalu menolak pria yang mendekatinya.

"Terus kenapa kamu pengin nikah?"

"Pengin punya keluarga, pengin punya anak, pengin hidup lebih teratur, hmm, banyak alasannya."

"Termasuk pengin having sex dengan legal?"

"Sialan!" Aku menatapnya yang sedang tertawa, dia terlihat sangat cantik kalau sedang tertawa atau tersenyum seperti sekarang, "Kalau udah nikah namanya making love bukan having sex."

"Apa bedanya?" Dia masih belum puas menggodaku.

"Bedanya, yang satu berdasarkan cinta dan satunya lagi berdasarkan nafsu."

"Apa bedanya? Cinta itu juga nafsu, salah satu bentuk nafsu."

Aku menarik napas panjang lalu menyesap minumanku. Berdebat dengannya tidak ada gunanya. Dia selalu menang, tidak peduli apa pun yang aku lakukan.

"Jadi," dia mengaduk pesanannya, kebiasaan kalau ada yang sedang dipikirkannya, "kamu jatuh cinta?"

Aku kembali menganggukkan kepalaku.

"Lalu bagaimana denganku?"

Pertanyaannya membuatku terdiam. Lalu bagaimana dengan dia?





No comments:

Post a Comment