Saturday, January 3, 2015

Dia Belum Kembali

Dua minggu sejak terakhir kali kami bertemu di kafe ini dan dia masih belum kembali. Varanasi atau kota apapun yang menjadi tujuannya kali ini, seindah apa kota itu hingga dia rela menghabiskan dua minggu di sana? Atau mungkin ini bukan masalah keindahan kota tapi masalah pencarian? Entahlah. Aku sudah lama mengenalnya tapi aku masih tidak yakin kalau aku benar-benar mengenalnya. 

Pencariannya...

"Kamu tahu apa yang paling ingin aku lakukan dalam hidup ini?" Menjelang tengah malam dan dia masih terlingat bersemangat. sama sekali tidak ada jejak mengantuk di matanya. 

"Apa?" Aku hanya sekedar bertanya untuk memuaskannya. Sesungguhnya tidak ada yang aku pedulikan saat ini kecuali menikmatinya ice lemon tea kesukaanku. 

"Aku pengin bisa mengunjungi semua kota suci di dunia." 

"Kota suci agamamu?" 

Dia menggeleng, "Enggak. Semua kota suci, agama apa pun."

"Kenapa?" Kali ini dia berhasil menarik perhatianku.

"Hum?!" Dia menaikan alisnya, "Kenapa? Memangnya ada yang salah dengan itu?"

"Enggak salah, sih, cuma aneh aja," aku menyesap ice lemon tea, "Setahuku, orang itu pengin ke kota suci agamanya, yang muslim pengin ke Mekah, Palestina dan berbagai negara timur tengah lainnya atau sekadar ziarah wali songo, yang kristen pengin ke Vatikan atau Yerusalem, bukan ke kota suci semua agama." 

"Tapi boleh, kan?" Dia masih berkeras, "Aku boleh mengunjungi semuanya, kan?"

Ini gila. Sepanjang hidupku baru pertama kali aku mendengar keinginan yang demikian anehnya. Aku memang bukan penganut agama yang taat tapi setidaknya aku memilih untuk meyakini satu agama kemudian mengamininya dengan melakukan semua ritual ibadahnya, tentu saja yang umum, aku belum tertarik untuk menenggalamkan diri ke dalam ritual ibadah. Tapi setidaknya aku memilih satu, kan? Sedang gadis yang ada di depanku, dia seakan tidak ingin memilih, dia menginginkan semuanya. 

"Apa alasanmu?" Akhirnya aku memilih untuk menyerah dan bertanya. 

"Aku ingin mencari kebenaran," dia menjawab singkat. 

"Kebenaran? Jadi menurutmu agama yang kamu anut sekarang tidak benar?"

"Bukan," dia menggelengkan kepalanya cepat, "Bukannya aku tidak meyakini kebenarannya tapi sejak kecil aku selalu bertanya, hampir semua dari kita meyakini kalau Tuhan itu satu tapi kenapa ada begitu banyak nama untuk-Nya? Kenapa Dia dikenal dengan nama yang berbeda? Kenapa kita sering kali berantem karena perbedaan itu? Ada terlalu banyak kenapa yang muncul di kepalaku. Aku harus mencari tahu dan menemukan kebenaran."

Dan sampai detik ini aku tidak mempertanyakan apa yang dia pertanyakan. Ada apa dengan gadis ini?  Yang aku tahu, dia berbeda. 

"Bagaimana kalau kamu enggak pernah menemukan kebenaran yang kamu cari?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. 

"Setidaknya ketika Tuhan bertanya aku bisa menjawab bahwa aku sudah berusaha untuk mencari kebenaran-Nya. Setidaknya aku sudah berusaha." 

"Jadi kamu akan tetap melakukan pencarian itu?" 

Dia mengangkat bahunya, "Hidup itu memang pencarian, kan?" 

Shit! Ternyata bukan cuma aku yang merindukannya. Ingatanku jauh lebih merindukan sosoknya hingga potongan kenangan pembicaraan kami bermunculan di kepalaku tanpa bisa aku hentikan. 

Aku menghabiskan sisa ice lemon tea-ku lalu bangun meninggalkan meja kesukaan kami. Tidak ada gunanya menunggu kedatangannya hari ini. Dia tidak akan datang. Dia masih dalam pencariannya. Semakin lama di sini hanya akan membuat ingatanku menari bebas dan aku semakin merindukannya. 

Apa kabarmu, Nona? 



No comments:

Post a Comment