Friday, January 9, 2015

Rindu Kamu, Nona

"Menurutmu," aku langsung mengalihkan pandangan dari layar tab yang menampilkan grafik yang terus bergerak ke arahnya yang terlihat sedang menerawang jauh sambil menggenggam cangkir kopinya,"Apa manusia memang makhluk paling sempurna di dunia?" 

"Here we go," aku menyesap lemon tea pesananku, "Perasaan itu baru cangkir pertamamu dan sesi pertanyaan aneh kamu udah dimulai? Ini aneh." 

Dia melempar bungkus sedotan kosong ke arahku sambil mendelik kesal, "Jawab aja, enggak usah banyak komentar, deh. Nyebelin tahu!" 

"Entahlah," aku mematikan tab. Percuma, aku tidak akan mungkin bisa berkonsentrasi jika dia sudah memulai pembicaraan aneh, absurd dan random seperti ini, "Kamu sendiri?" 

"Berhenti, deh, ngejawab pertanyaan dengan pertanyaan," dia masih mendelik dan itu, percaya atau tidak, membuatnya terlihat semakin menarik, "Percaya enggak?" 

"Enggak tahu. Aku bukan kamu yang selalu mikirin hal-hal aneh kayak gini." 

Dia memutar bola matanya lalu meletakkan cangkir kopinya dan kembali menerawang, "Aku enggak percaya. Buatku kita itu bukan makhluk paling sempurna di dunia." 

"Kamu percaya alien?" Entah kenapa pertanyaan itu terlontar. 

"Aku percaya," dia terdengar yakin, "Kita terlalu sombong kalau mikir semesta cuma diciptain untuk kita, manusia yang bahkan enggak tahu caranya berterima kasih. Tapi aku bukan lagi ngomongin alien atau makhluk dunia lain atau apalah itu istilahnya. Aku lagi ngomongin dunia ini, bumi." 

"Oke, kamu bikin aku bingung," aku kembali menyesap lemon tea, "Apa maksud kamu sebenarnya?" 

Dia mengangkat bahunya ringan, "Menurutku, kita ini makhluk yang memalukan dan sombong. Memalukan karena kita memberdayakan semua makhluk lain dengan sesuka hati kita dan sombong sampai merasa yang paling hebat dan merasa berhak melakukan apa pun terhadap bumi." 

"Apa yang salah dengan itu? Kita memang harus memberdayakan binatang, tumbuhan dan juga bumi untuk tetap hidup. Itu hal yang wajar, kan?" 

"Wajar?!" Sekarang dia terlihat marah, "Itu sama sekali enggak wajar! Kamu pikir selama ini bumi yang enggak bersahabat dengan manusia? Demi Tuhan! Bukan bumi yang enggak bersahabat tapi kita yang enggak tahu diri!" 

"Whoa..whoa..santai, kamu kenapa hari ini?" 

"Aku kesal, aku..." dia menarik napas panjang, "Aku berharap tumbuhan bisa bergerak dan ngomong dan memperbudak manusia."

"Kamu terlalu banyak baca," aku tersenyum dan kembali menyalakan tab. Aku salah. Ternyata pembicaraan absurd malam ini tidak akan berlangsung lama seperti biasanya. 

"I'm not! Coba, deh, kamu baca buku World Without Man, kamu bakalan tahu kalau kita ini enggak ada apa-apanya. Tumbuan, bahkan jamur dan lumut yang katanya cuma punya sistem sederhana bisa menghancurkan kehidupan kita. Kota yang kita bangun bertahun-tahun ini bisa hancur cuma dalam hitungan bulan. Sekarang, kamu masih bilang aku yang kebanyakan baca?" 

"Tapi kenyataannya enggak, kan? Coba sebutin kota mana yang hancur karena lumut atau jamur? Enggak ada." 

"Memang enggak ada. Belum ada tepatnya. Tapi itu bukan berarti kita bisa seenaknya, kan? Harusnya kita hidup seirama dengan bumi bukan memaksa bumi mengikuti kita." 

"Kayak yang aku bilang, kamu kebanyakan baca. Aku yakin imajinasi kamu sama aktifnya dengan imajinasi bocah usia lima tahun." 

"Biarin! Dari pada kamu yang kerjanya cuma ngelihatin grafik?! Kamu itu, ya, coba deh mulai baca buku lain selain buku ekonomi atau merhatiin grafik enggak jelas itu!" 

"Hei! Ini bukan grafik enggak jelas. Ini..." 

"Mau tambah lemon tea-nya lagi, Mas?" salah seorang waitress cafe ini menyapa sambil membawa pitcher yang aku yakin berisi lemon tea kesukaanku.

"Ah, iya, boleh," aku menyorong gelasku ke arahnya, "Makasih."

"Tumben sendiri, Mas? Mbaknya yang biasa kemana?"

"Lagi traveling," aku menjawab pertanyaannya sekadarnya.

Pertanyaannya basa-basinya membuatku kembali terpaksa mengingat kalau kamu sudah pergi selama dua minggu. Sudah lebih dari dua minggu sejak dia mengatakan akan ke Varanasi. Dan sudah selama itu aku tidak mendengar suaranya, tidak mengobrol dengannya. Aku merindukannya.

Aku merindukannya setengah mati.

Kapan kamu pulang, Nona?



No comments:

Post a Comment