"Kamu beneran enggak mau, Beib?" Mikha mengulurkan gelas wine yang baru diisinya untuk kesekian kalinya.
"I'm not drink, Sayang."
"I know, tapi enggak ada salahnya nyoba? Sekedar nyicip, hmm?" dia duduk di sampingku.
Tanpa merasa bersalah dia menaikkan kakinya ke pahaku. Perhatianku sedikit teralihkan dari layar tab. Pria mana yang tidak tergoda untuk melirik kaki jenjang gadis secantik Mikha yang hanya mengenakan celana pendek, sangat pendek?
"Enggak. Kamu tahu kalau aku benci alkohol, kan?"
"Benci? Aku kira sekadar enggak suka," dia menyesap wine, la tache burgundy, seharga satu mobil innova dengan santai. .
Aku tidak pernah tergoda alkohol bukan cuma karena agama melarangnya. Yang membuatku bertahan tidak menyentuh alkohol adalah karena aku tidak ingin seperti Papa.
Papa adalah suami dan orang tua yang penuh cinta dan baik. Kecuali kalau beliau sedang dipengaruhi oleh alkohol. Cinta berganti menjadi kekejaman dan baik berubah menjadi ringan tangan. Aku tidak ingin dikendalikan alkohol seperti Papa. Tidak.
"Perfect! This bottle just... perfect, don't you want to try it, Beib? Percaya, deh, kamu enggak bakalan nyesal."
"No! I said no, Mikha," nada suaraku meninggi, "Kamu kenapa, sih? Aku udah bilang kalau aku enggak minum!"
"Chill, Beib, aku cuma pengin mabuk bareng kamu. Sesekali."
"Enggak usah pengin yang aneh-aneh."
"Itu enggak aneh. Apa susahnya, sih? Tinggal minum aja. Mabuk itu enggak susah, Ibra. Lagian if we fuck when high that gonna be great experience. Ever."
"Ngawur," aku berusaha mengembalikan perhatianku pada layar tab yang menampilkan grafik keuntungan kuartal pertama perusahaanku.
Usaha yang sia-sia karena Mikha berusaha menarik dan menggodaku dengan berbagai tingkahnya. Dan itu tidak hanya membuat perhatianku teralihkan tapi juga membuatku kegerahan.
"What are you doing, Kha?"
"What?" Dia bertanya dengan polos, "I'm doing nothing."
"Really?"
"C'mon, Ibra, try this," Mikha kembali menyodorkan gelas wine yang ada di tangannya, "Or I'll be naughty. Really naughty."
"Please, Kha," aku menatapnya tajam, "Jangan paksa aku."
"Please, Bram, jangan tolak aku," matanya menatapku sendu.
Aku menarik napas panjang. Bersama Mikha mulai terasa mencekikku. Semua keinginannya harus dituruti atau dia akan menggodaku, memamerkan tubuhnya, apapun.
"Sebenarnya apa yang sedang kita lakukan, Kha?" Aku membalas tatapannya,
"Kita? Bersenang-senang. Apa lagi?"
"You're not happy. I'm not happy. We not happy anymore."
"We fight and fuck. We do our thing. Maybe we are not happy but I believe we enjoy it."
"Figth and fuck," aku tertawa stress, "You enjoy it, I'm not."
"Enggak usah munafik, Ibra," Mikha berdiri tepat di hadapanku dan melepaskan tank top yang dikenakannya, "Don't say you are not enjoy this!"
Tanpa terduga dia menciumku sambil menarik kedua tanganku.
Sesaat aku ragu. Sedetik. Hanya sedetik sebelum aku membalas melumat bibirnya.
"See? Gini kamu bilang kamu enggak menikmatinya?!" Dia mengusap bibirnya kasar, "Enggak ada cowok yang enggak menikmatinya! Enggak ada!"
"What are you fucking doing?!" Aku berteriak.
"Apa?! Kamu marah karena aku berhenti?! Iya, kan?"
"Stop it, Kha! Stop! Kamu mabuk dan aku enggak pernah mau ngeladeni orang mabuk."
"Berhenti jadi orang munafik, Ibra. Ayolah," dia duduk di meja dan menyilangkan kakinya, "Jangan bilang enggak. You enjoyed it and you want more, right?" Dia memajukan tubuhnya dan meletakkan kedua tangannya di pahaku dan terus bergerak naik.
"I said, stop it, Kha!" Aku menarik kedua tangannya dan melemparnya.
"Why should I?" Dia mengerling nakal.
Aku menutup mataku dan menarik napas panjang, "Are you ever love me, Mikha?"
Seketika Mikha menarik tubuhnya menjauh. Wajah memerah tapi bukan lagi karena gairah melainkan kemarahan. Dia menyambar tank top di lantai dan mengenakannya asal sambil berjalan menuju kamarnya.
"Dont you ever talk about fucking love with me!" Matanya yang sedetik yang lalu mengerling nakal sekarang manatapku nyalang.
Dan dia membanting pintu kamarnya.
Ka mikha sebenarnya dulu apa?? *bergidik ngeri
ReplyDeleteAuthor, ceritanya makin sini makin gede aja *muka polos emang nyatanya juga polos
Ka sher!! Come back to ka bram. He need you. And always i think
muka polos emang nyatanya juga polos << muka kamu enggak ada mata, hidung dan mulutnya gitu? :O
DeleteMuka anak kecil maksudnya *makan permen
Deleteadek kecil yang mukanya polos? Kok makin menyeramkan, ya?
Delete(komen langsung di sini ya Mbak) ^__^
ReplyDeleteBaca dari episode sebelumnya terus lanjut ke sini kok tetiba mikir, ternyata Mikha juga punya sisi yang tersembunyi. Daaan, kayaknya ini Bram terjebak di antara dua perempuan yang punya sisi rapuh masing-masing. Dia pasti dilema tuh ya :( saya prihatin (loh)
Siapa bilang Bram terjebak? Yakin dia bukan salah satu dari mereka? Yakin kalau Bram enggak "sakit"?
DeleteJangan jangan O___O klimaksnya bakal 'menakutkan' ini
DeleteMari kita duduk cantik menyilngkan kaki sambil menunggu masa lalunya Mikha dan Sher terbongkar bersama2~ *dudududududu *siul2 cantiik :p
ReplyDelete*Ikutan duduk cantik*
DeleteCkckck *gelenggeleng*
ReplyDelete