"What did you fucking do at there, Kha?!" Aku langsung melampiaskan kemarahanku setelah menutup pintu apartemen Mikha.
Aku sudah menahan emosi sejak menarik paksa Mikha turun dari atas meja bar sambil menebalkan wajah bukan hanya karena seluruh tamu memperhatikan Mikha tapi juga karena Mikha menarik tepat di hadapan Samudera. Sahabatku memang tidak mengucapkan apapun tapi tatapannya cukup bagiku. Ditambah tatapan tamu lain yang memperhatikan kami. Memperhatikan Mikha. Sebagian tersenyum geli, sebagian mencibir dan sebagian lagi menatapnya penuh nafsu.
"Itu acara ulang tahun Ayah sahabatku dan pria itu sahabatku, apa yang kamu lakukan, Kha?! Striptease di atas meja bar?! Kamu enggak cuma bikin malu diri kamu sendiri tapi juga aku!"
"Malu? Kenapa aku harus malu, Beib? I enjoyed it. And that man enjoyed too. So, what's the problem?"
"Oh My God! Kamu bisa mikir enggak, sih?!"
"Bisa! Makanya tadi aku sengaja nari. Everybody bored, I'm bore, I just want to have fun."
"Tapi bukan gitu caranya! Tadi itu kamu cuma mempermalukan diri kamu sendiri!"
"Beib," dia mengusap pipiku lembut, "Aku enggak mempermalukan diri aku atau kamu. Aku cuma nari, menggoda... aku lupa namanya, ya, orang itu, sahabatmu itu."
"Menggoda? Enggak semua juga harus kamu godain, Mikha! Dan, Ya Tuhan, dia itu sahabatku, Mikha!"
"Apa yang salah?!" Suaranya meninggi, "Dari kecil aku belajat kalau cowok cuma mau satu dari cewek. Cowok cuma pengin tubuh cewek. Man only need woman to having seks!"
"Oke. Terserah kamu. Aku benar-benar enggak ngerti sama kamu," aku mengambil jas yang tadi aku lempar dengan kesal ke sofa, "Mulai sekarang, silakan lakukan apa yang kamu mau. Terserah. Aku enggak peduli lagi."
"Apa maksud kamu?!" Nada suaranya meninggi.
"Aku udah nyoba menolerir kelakuan kamu. Tapi ini benar-benar udah kelewatan. Aku capek."
Pipiku panas. Dia menamparku sekuat tenaga.
"Kamu mau mutusin aku? Kamu kira kamu siapa bisa mutusin aku seenaknya?!" Matanya nyalang.
"Kamu bahkan enggak pernah cinta sama aku, kan? Hubungan kita ini enggak ada gunanya!"
Pipiku kembali perih. Dia menamparku lagi.
"Aku udah bilang jangan pernah ngomongin cinta! Cinta itu enggak ada! Yang ada cuma nafsu!"
"Kamu benar-benar gila, Kha," aku berbalik dan berjalan menuju pintu, "Aku pergi."
Tiba-tiba Mikha melesat melewatiku dan mengunci pintu apartemennya lalu menggenggam erat kuncinya, "Kamu enggak akan ninggalin aku, Ibra. Enggak akan pernah."
"Aku capek. Aku capek ngikutin drama kamu. Kasih kuncinya sama aku. Jangan bodoh."
"Enggak. Aku enggak akan ngasih kuncinya sama kamu. Aku enggak mau kamu pergi. Aku enggak mau kamu ninggalin aku," dia mulai menangis, "Aku enggak mau kita putus. Aku butuh kamu, Ibra!"
Dia mulai menangis tanpa henti. Dan aku bergeming.
"Kamu enggak boleh pergi, Ibra. Enggak boleh." Dan Mikha bertingkah semakin aneh. Dia menangis tapi dia mulai membuka gaunnya, "I'll do everything, Beib. Everything, but please, don't go. Please, don't ever leave me alone. Please."
"Stop it, Mikha. Stop it," aku berusaha menutupi tubuhnya dengan gaun yang tadi dikenakannya, "Enggak semua masalah bisa selesai dengan seks!"
"Bisa, Aku yakin bisa, Ibra. Seks selalu bisa memperbaiki semuanya," dia mengusap air mata di pipinya dengan kasar, "Sepanjang hidup aku aku belajar kalau cara terbaik untuk muasin cowok itu dengan seks. I learned. Aku tahu cara muasin kamu, Ibra. Dan aku janji, aku janji, aku bakalan muasin kamu kapanpun kamu mau tapi please, jangan tinggalin aku! Please!"
"Kamu gila!" Aku menjauhkan tubuhnya dariku.
"Enggak. Aku enggak gila, Beib. Aku ngelakuin ini karena aku enggak mau kamu ninggalin aku!"
"Kenapa? Kenapa kamu enggak mau kita putus? Kita terlalu berbeda bahkan kita enggak saling cinta, jadi enggak ada alasan kita buat bareng lagi."
Tatapannya menerawang jauh. Dan aku kembali menemukan tatapan yang sama dengan tatapannya di malam ketika dia menangis tanpa alasan.
"Karena cuma kamu yang memperlakukan aku dengan baik," dia menarik napas panjang, "Cuma kamu yang nganggap aku manusia."
"Kalau kamu terus-terusan ngandelin seks buat dapatin apa yang kamu mau, enggak akan ada orang yang akan ngelihat kamu sebagai manusia."
"Apa yang salah dengan itu?" Dia terkikik dan aku merinding mendengarnya, "Dari kecil aku belajar kalau cara terbaik ngendaliin cowok itu dengan muasin kebutuhan seks mereka.
"Ya Tuhan, Mikha. Tentu aja itu salah. Kamu..."
"Enggak usah munafik! Kamu seneng, kan? Kamu ketagihan, kan? Dan aku selalu bisa dapatin apa yang aku mau dari kamu dengan seks!"
"Kamu salah! Aku menuhin semua permintaan kamu karena aku cinta sama kamu. Cinta, Kha."
"BULLSHIT! Aku enggak percaya cinta. Di dunia ini cuma ada nafsu. Enggak ada yang namanya cinta!"
"Kha, what happened with you?"
"Kenapa? Enggak usah pura-pura perhatian padahal kamu mau ninggalin aku!"
"Aku mau kita putus bukan berarti aku enggak perhatian sama kamu.."
"Munafik! Dari awal aku tahu kalau kamu itu munafik, Ibra!" Dia berteriak seperti kesetanan, "Kamu enggak ada bedanya sama cowok-cowok yang lain. Bahkan kamu lebih buruk karena kamu," dia menatapku nyalang, "MUNAFIIIK!!!"
"Kamu..."
"Kamu bilang kamu peduli? Kamu bilang kamu perhatian?" Mikha meludahi lantai, "BULLSHIT! Kamu cuma peduli sama aku karena kamu pikir aku cewek baik-baik, kan? Cewek suci kayak cewek yang kamu kenalin ke aku waktu itu. Siapa namanya? Ah! Sher," dia menyeracau. Ucapannya tidak jelas dan terdengar seperti sedang bergumam.
Tiba-tiba dia terdiam dan menatapku tajam, "Seandainya, seandainya kamu tahu siapa kamu, enggak, enggak, kamu enggak perlu tahu aku ini sebenarnya siapa aja kamu udah jijik, kan, sama aku? Kamu jijik sama aku karena ternyata aku bukan cewek baik-baik kayak Sher. PERSETAN DENGAN SHER!!!!!"
Dia bangkit dan membuka pintu apartemennya. Sambil mengangkat dagu dia menatapku dengan penuh kebencian, "Kamu mau pergi, kan? PERGI!!"
Aku bergeming. Ucapan dan teriakannya membuat kakiku terpaku. Sekuat apapun keinginanku untuk pergi dan meninggalkan dia bersama dengan kegilaannya ada sedikit perasaan iba yang mengikatku. Memaksaku untuk tetap di sini.
"Kenapa? Kamu kasihan? Aku enggak pernah mau dikasihani oleh siapapun. Aku bilang, pergi! Pergi, Ibraa!!!!"
Dia mendorong punggung hingga aku keluar dari apatemennya, "Pergi! Aku enggak mau ngelihat kamu lagi!"
"Kha.."
"Aku enggak butuh rasa kasian kamu!"
Pintu itu segera tertutup dan samar aku mendengarnya suara tangisan.
Malaikat jatuh itu menangis. Sendirian.
Memilukan. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun.
Dia sudah bukan lagi malaikatku.
Haha! Mikha? Rasaaiiinn!!
ReplyDeleteAbisnya kelakuan kayak orang hutan dibawa ke kota sih, gak bisa menempatkan diri banget, dikiranya semua meja bar di seluruh acara itu buat nari2 heboh ala elu?! *sambil nunjuk2 Mikha si malaikat, eh maaf , maksud saya si hantu muka 2..
Pake cara bilang persetan dengan Sher segala. Gak bisa ngaca siapa setan yg sebenernya? Hah?! *esmosi
Entah.. sejauh ini mulai penasaran sama Mikha, sama jalan pikirnya.
ReplyDeleteYa ampun aku syok sama kelakukan MIkha, tapi di luar itu semua aku jadi kepengin tahu apa masalah Mikha. Apa yang buat pemikirannya dia kayak gitu. :/
ReplyDeleteDan tentang Bram, aku juga penasaran :/ aaaaa ~ aku mau gentayangan ~ hehehehe :D
Kasian si Ibra ya, udah dijadiin supir dibikin malu lagi, Sher mana sih?
ReplyDeleteEh ya ampun. -__-"
ReplyDelete*udah segitu aja komennya*
Kak Dy, typo lagi, huhuhu
..."kecil aku belajat kalau cowok "...
Eh, terus kalo yang ini ..."Seandainya, seandainya kamu tahu siapa kamu ((aku)), enggak, enggak, kamu enggak perlu tahu aku ini sebenarnya siapa aja kamu...
Mungkin pasnya aku kali yakk kak, bukan kamu? Eh bener gak? Hhahahah. Keep writing!
Udh gua bilang kn, putusin ka mikha *ngotot-_-
ReplyDeleteKa bram ga ikutin kata aku sih, nanti kn kalo kesananya lagi udh pasti berabe sama ka mikha
Aku tau lohh sipatnya ka mikha ~