Dia mengigit bibirnya, "Kenapa kamu ngelihatin aku
terus?"
Aku hampir tersedak mendengar pertanyaannya. Pertama karena
pertanyaan itu meluncur dari mulutnya tanpa pernah aku duga. Kedua karena
pertanyaannya. Dan ketiga karena tatapan mataku kembali bertemu dengan
tatapannya.
Apa dia memperhatikan apa yang aku lakukan?
"Maaf," aku berpura-pura menyesap peppermint
tea-ku, "Enggak sengaja."
Dia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum kembali menunduk meneruskan bacaannya.
Tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman aku berusaha sekuat tenaga untuk berhenti memperhatikannya. Sayang itu hanya berlangsung lima menit. Setelah itu tanpa sadar pandanganku kembali tertuju padanya.
Aku mengagumi wajahnya dalam keremangan pencahayaan cafe. Mungkin sebagian pengunjung merasa tidak nyaman dengan pencahayaan remang seperti ini, tapi itu membuat dia terlihat semakin sempurna. Kulitnya seakan berkilau tertimpa cahaya remang yang dikeluarkan penerangan cafe. Ya Tuhan!
"Enggak sengaja lagi?" Dia menatapku tajam dari balik kacamatanya.
"Eh?" Aku kembali gelapan.
"Kamu enggak sengaja merhatiin aku lagi?" Setelah menandai halaman yang sedang dibaca dengan telunjuknya dia menutup buku yang tadi dibacanya.
Tantangan Sher bergema di dalam kepalaku. Ini kesempatan untuk berkenalan dengannya. Aku tidak akan menyia-nyiakan atau merusaknya. Saat ini atau tidak sama sekali.
"Oke," aku berpura menyesap pesananku, "Sebenarnya, enggak."
"Enggak?" Tatapannya berubah menjadi bingung, "Enggak apa?"
"Aku bukan enggak sengaja merhatiin kamu," menelan ludah sambil meyakinkan diriku kalau ini tidak akan berakhir dengan sebuah tamparan, "Aku sengaja merhatiin kamu."
Bibirnya yang mungil seketika membulat membentuk huruf O sempurna. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Maaf. Aku enggak ada maksud untuk kurang ajar atau bikin kamu ngerasa enggak nyaman," aku mengusap telapak tangan di celana bahanku.
Dia masih belum mengucapkan sepatah kata pun. Tapi tatapannya tidak pernah lepas dariku. Dia memperhatikanku. Mungkin sedang mempertimbangkan seberapa psikopat pria yang duduk dihadapannya ini.
"Aku Ibrahim," aku mengulurkan tangan ke hadapannya, "Dan aku bukan orang aneh atau psikopat."
Ucapanku membuatnya tersenyum tipis. Dan beberapa detik kemudian tangannya menyambut uluran tanganku. "Mikhaelana, teman-teman biasa manggil aku Mikha," untuk pertama kali suaranya yang lembut dan seperti bernada menyapa telingaku.
"Ah iya, kalau aku biasa dipanggil Ibra," aku menggaruk bagian belakang kepalaku.
Sepanjang usiaku cuma Sher yang memanggilku Bram. Bertahun yang lalu ketika kami berkenalan tanpa basa-basi dia memutuskan untuk memanggilku Bram. Kata Sher, dia bingung harus memanggil Ib atau Bra atau Ba ketika menyapa atau memanggilku. Untuknya lebih mudah memanggilku Bram. Dan entah kenapa aku ingin menyimpan panggilan itu untuknya.
"Kamu sering ke sini?" Aku melontarkan pertanyaan pertama yang muncul di kepalaku secepat mungkin ketika sudut mataku menangkap gerakan tangannya yang ingin membuka kembali bukunya.
"Hm, enggak juga. Kalau lagi malas sendirian di apartemen aja atau kalau lagi pengin baca."
"Membaca di tempat ramai kayak gini? Memangnya enak, ya?"
Dia mengangkat bahunya, gerakan sederhana yang terlihat sangat menarik dalam pandanganku, "Enak atau enggak, sih, relatif, ya. Udah kebiasaan aja. Lagian ngerasain sepi sering-sering juga enggak baik."
Ternyata dia bukan pendiam seperti yang ada dalam bayanganku. Dia tidak serupa Sher. Dia cukup ramah walau masih dalam batasan yang wajar. Pembicaraan kami mengalir cukup lancar walau hanya seputar kopi, teh dan jenis bacaan yang kami sukai juga hal-hal umum lain layaknya pembicaraan dua orang yang baru berkenalan.
"Boleh aku minta nomor HP kamu?" Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya di akhir percakapan kami.
Dia tersenyum sambil merapikan tasnya, "Aku bakalan ngasih nomor aku kalau kita ketemu lagi."
"Kapan?"
"Enggak seru kalau kita tahu, kan? Biarin aja semesta yang menentukan. Selamat malam, Ibra."
"Selamat malam, Mikha."
Aku memperhatikan punggungnya sambil tersenyum. Tanpa mampu aku menahannya senyumku terulas sempurna. Bahkan hingga sosoknya sempurna menghilang dari pandanganku.
Ibrahim Wiranagara : Kamu kalah! Aku berhasil kenalan sama dia!
Ibrahim Wiranagara : Apa pun, Sher. Apa pun!
Tapi hingga aku beranjak dari cafe ini, tidak ada balasan dari Sher.
Dengan penuh tanya aku meninggalkan cafe ini.
Kemana dia?
Cieee yg nyariin Sher :p mau dibawa kemana sih itu perasaan? Buat Mikha atau Sher? Klo buat Mikha, kok disaat Sher nggak bales pesan langsung kecarian? *kekepoan yg disengaja buat bikin galau penulisnya. Ahhahahahaha...
ReplyDeleteDan seperti biasa ntah benar atau nggak, koreksi saya jika salah, dari bbrp tulisan kakak, saya sering menemukan kata "semesta" mau itu berkonspirasi, atau mendukung, atau menentukan.
But operol is good. No! Very good especially for me.. *serasa komentator di kompetisi tipi2 nasional gitu*
M waiting for the next episode, Kak Dy :)
Hayoo, mau dibawa ke mana? ke mana? ke mana? *dikeplakI
Deletehihi iya, karena buatku, kita berhasil mendapatkan sesuatu karena Allah let universe to support or help us.
((operol))
Kakak korban sinetron di tipi yg ceritanya melenceng dari judul, nih :D
DeleteHaha iya kak, saya pake operol krn tulisan over all udh terlalu menstrim :p
Ha? Aku? Nonton sinetron juga enggak gitu >.<
DeleteKyaaaa~~~ Lanjutin dong kak Dy ^ ^, penasaran nih. Sher kemana? Munculin lagi dong :3
ReplyDeleteSher lagi mogok. Diriku masih belum mampu bayar gajinya dia :p
DeleteKak Dy bisa aja nih bikin penasarannya :p eniwey masih banyak yang typo tuh kak. Hehehehehe. Semangat ngebuat penasaran kita kak :p
ReplyDeleteSelamat penasaran!
Deletetypo? masa sih?
Yap. Nih,,
Delete... Ternyata dia bukan penikmat seperti yang ada dalam bayanganku, seerti [seperti] Sher.
Udah dirapiin. Makasih yaaa^^
DeleteAku memang (masih) kurang teliti, nih.
Cie kak Dy sukses bikin aku penasaran :D Ditunggu kelanjutan ceritanya ya kak :)
ReplyDeletecieee yang udah baca, makasih yaa^^
Deleteyuk dibaca lanjutannya :)