“Bra! Ibra!,” Samudera berteriak sambil
melambaikan tangannya.
Aku membalas lambaiannya sambil berusaha
melewati pengunjung lain yang memenuhi bar langganan Samudera. Seperti biasa
dia duduk di salah satu sofa dengan pemandangan bebas ke arah dance floor, spot favoritnya. Sama
sepertiku, dia juga masih mengenakan pakaian kerja, kemeja, dasi, vest dan tentu saja jas yang disampirkan
pada sandaran sofa.
Tadi pagi, Samudera menghubungiku. Tidak
melalui seketarisnya, juga tidak melalui seketarisku. Dia menghubungi langsung.
Dan itu langsung menghadirkan sebuah tanya dalam kepalaku. Ada apa?
Sayangnya, Samudera tetaplah Samudera yang
aku kenal. Sebanyak apapun aku bertanya, dia bergeming. Tidak sekalipun
dia mengatakan tujuannya. Tentang Mikha, kah?
“Pesan apa? Orange juice? Atau sekarang lo
udah minum?”
“Mineral water is fine for me,” tanpa
basa-basi, “Kalau ini tentang kelakuan Mikha di pesta kemarin gue ….”
“Bukan. Ini bukan tentang Mikha,” dia
tersenyum lalu menyesap minumannya, whiskey single malt, “Tapi tipe kamu masih
belum berubah, ya. Cantik, seksi dan tahu cara menggoda.”
“Udahlah. Gue juga udah putus sama dia.”
Datar.
“Putus? Serius? Akhirnya lo bisa juga mutusin
cewek. We should celebrate it!” Dia terkekeh.
“Well, bukan putus, sih. Let say, break. Cara
hidup kami terlalu berbeda. Butuh waktu untuk penyesuaian,” aku meminum air
mineral yang baru diantarkan, “Kalau bukan karena Mikha terus kenapa lo ngajak
ketemuan?”
Dia kembali terkekeh, “Apa salahnya ngajak
sahabat lama nongkrong bareng?”
“C’mon, Sam. Kita sama-sama tahu kalau lo itu
oportunis sejati. Enggak mungkin kalau lo enggak punya tujuan apapun.”
“Well,” dia kembali menegak whiskey single malt, “Gue
mau ngomong tentang Vana sama lo.”
“Vana? Oh, maksud lo Sher. Dia kenapa? Baru beberapa
hari yang lalu gue ketemuan dan Sher baik-baik aja.”
“Lo udah kenal lama sama Vana?”
“Hm, lumayan. Udah lebih tiga tahun. Kenapa?”
“Hm,” dia bergumam, “Gue merhatiin lo sama
Vana di pesta kemarin. Mungkin lo enggak sadar,” Sam merentangkan tangannya
pada sandaran sofa dan menengadahkan wajahnya, “Gue enggak nyangka gue bakalan
nanya ini sama lo, tapi gue harus. Lo cinta sama Vana?”
“Sorry,” aku hampir tersedak air mineral, “Lo
nanya apa?”
“Lo cinta sama Vana?”
“Gue… enggak. Gue, enggak mungkinlah Sam.
Sher itu sahabat gue. Lagian gue enggak tega ngejerumusin adik kesayangan lo.
Dia itu…beda dengan kita, Sam.” Aku berusaha bercanda tapi ekspresi Samudera
sama sekali tidak berubah.
“Lo beneran enggak cinta sama Vana?” Dia kembali
bertanya. Lebih tegas.
“Enggak, Sam. Gue enggak cinta sama Sher,”
aku berusaha untuk tegas walau sebenarnya aku sendiri tidak cukup yakin.
Pertanyaannya menggemakan sesuatu di kepalaku.
“Yakin?”
Aku menarik napas panjang, “Gue sama adik lo cuma
sahabatan. Lo bisa tenang.”
“Tapi lo kelihatan beda waktu di dekat Vana.”
“Masa? Paling cuma perasaan lo aja,” aku
menatapnya, “Gue sayang sama Sher. Gue pengin ngelihat dia bahagia, dia senang.
Tapi ya udah. Itu aja.”
Dia menatapku lama. Seakan ingin menyelidiki
sejauh mana kebenaran ucapanku.
“Buat sekarang gue percaya,” dia kembali
menegak minumannya, “Dan saran gue, kalau lo enggak mau kehilangan Vana,
jangan, jangan pernah jatuh cinta sama dia.”
“Maksud lo?”
“Vana itu, dia kompleks. Cara pandang Vana
sama kehidupan itu berbeda.”
“Dari obrolan gue sama Sher gue bisa nangkap
itu. Tapi kenapa lo ngelarang gue jatuh cinta sama dia?”
“Gue enggak ngelarang lo. Cuma gue enggak
yakin lo siap kehilangan dia. Vana itu…dia selal…”
Dering smartphone-ku memotong kalimat
Samudera.
Mikha.
Mau apa lagi dia?
Setelah hampir me-reject panggilan itu aku
memutuskan untuk menerimanya. Bagaimanapun dia Mikha.
“Sorry, Mikha,” Samudera hanya mengangkat sebelah
alisnya, “Iya, Kha?”
“Ibra…help me. Please!” Lirih.
“Mikha, Kha? Kamu ngomong apa? Aku enggak
denger.”
“Please. Help. Me,” suaranya terdengar lebih
jelas tapi masih sangat lemah, “Ke sini. Tolong aku.”
Sambungan telepon terputus.
Tolong? Ada apa sebenarnya? Apa aku salah
dengar?
“Sorry, Sam, gue harus pergi,” aku bangun
setelah mengambil jas yang aku letakkan di lengan sofa.
“Mikha?” Dia menatapku penuh arti.
“Ya. Tapi enggak kayak yang lo pikir,” aku
menepuk pundaknya, “Obrolan ini kita sambung lain kali,” aku berlari menuju
pintu keluar.
“Ibra! Ingat pesen gue! Lo jangan jatuh cinta
sama Vana!”
Ngg, kak mungkin floor dance nya lebih cocok klo diganti pake dance floor.
ReplyDeleteAkhirnya cerita ini dilanjutin stlh ditunggu-tunggu, dan sekalinya muncul udh langsung bikin penasaran *duduk nungguin lanjutan. Dan semuanya gara2 Mikha. Heboh amat dia, udh marah2in Bram katanya gak mau liat Bram tapi pas ada perlu malah nelpon Bram. Nelponnya disaat yg amat sangat nggak tepat pula, pas Sam lagi ngasih info penting tentang Sher buat Bram. Huh!
kesel, kesel, kesel! *niruiin ekspresimu*
DeleteYatta!!!!! Balik lagi cerita ini hihihi ~
ReplyDeleteWuih ada apa nih, Sam kayaknya mau kasih tahu sesuatu yg penting kan? Kena potong sama dering telpon ih :( padahal aku udah serius hahaha
Mikha, kenapaaaaa? Jangan-jangan ada rahasia yang bakal terkuak nih. ditunggu next episode nya :D besok yaaaa ~ *digantung*
gantung *di pohon tauge*
DeleteKompleks tu apa?? *maklum masih anak kecil jadi gatau apa apa
ReplyDeleteka sher ama ka mikha sama sama aja ya, idupnya kaya gitu, banyak misterilah, itulah, apalah, aku juga gatau
Tapi moga aja mereka senang. Kekekeke ^0^
kompleks rumah #eh
DeleteAkhirnyaaa >,<
ReplyDeletegimana?
Delete