Dengan panik aku menggedor pintu apartemen Mikha. Membunyikan bel berulang kali sambil mengutuk kebodohanku mengembalikan kunci apartemennya ketika terakhir kali kami bertengkar.
Kalau tahu akan seperti ini aku tidak akan melakukan itu.
Pintu apartemen terbuka. Tanpa menunggu Mikha mempersilakan masuk aku mendorong pintu dan masuk. Menarik Mikha dan memeriksa tangan serta anggota tubuhnya yang lain. Dia baik-baik saja. Syukurlah dia baik-baik saja. Aku menarik napas penuh kelegaan berulang kali.
Dia baik-baik saja.
"Hai Handsome," pertama kali sejak aku masuk aku sadar kalau dia menatapku sambil tersenyum menggoda.
"Kamu kenapa?"
"Kenapa apanya?" Dia mengerling penuh arti sambil mengusap lenganku pelan, "Kamu yang kenapa. Kenapa tadi langsung narik aku masuk?" Dia mendekatkan wajahnya dan berbisik tepat ditelingaku, "Kamu kangen banget sama aku ya?"
Aku merinding. Entah karena hembusan napasnya yang mengenai leherku atau karena ucapannya atau karena kesadaran yang tiba-tiba memukul kepalaku. Dia mempermainkanku dan aku terperangkap dengan mudahnya.
"Telepon kamu tadi... kamu.."
Dia mencium telingaku sebelum kembali berbisik, "Aku kangen dan itu satu-satunya cara biar kamu datang."
Mikha menjauhkan kepalanya hingga aku bisa menatap langsung matanya. Dia masih tersenyum dan tangannya mulai menelusuri tubuhku, berpindah dari lengan ke dada dan sekarang pinggangku.
"Aku kangen. Kamu juga kangen, kan, Babe? Hm..."
"Stop it. Stop it, Kha! Aku ke sini bukan untuk ..."
"Bukan?" Dia bertanya dengan nada bingung tapinsepolos apa pum raut muka yang ditampilkan tangannya tidak berhenti menelusuri tubuhku. Dia tahu dengan pasti tujuannya, "Are you sure, Babe?"
"I. Said. Stop. It!" Aku mengatupkan gigiku dan menarik tangannya menjauh dari tubuhku.
"C'mon, Babe, enggak usah malu. I know you want this so bad, right?" Dia kembali mendekatkan wajahnya dan kali ini dia mencium bibirku.
Tidak lembut. Ciumannya tidak pernah lembut. Dia lebih suka menciumku dengan kasar dan intens. Ya. Seperti ini. Seperti sekarang ini. Ya Tuhan, aku merindukannya. Sangat.
Sesaat aku kehilangan kendali atas diriku. Aku terbawa permainnya. Aku membalas ciumannya dengan lebih kasar dan lebih intens. Bahkan aku menuntut lebih. Aku...
Shit! Apa yang aku lakukan?!
Aku langsung menarik tubuhku menjauh.
Mikha menatapku bingung, "Why, Bram? Oh, I know, you want more, right? C'mon..."
"NO. Stop, Mikha. Stop!" Tanpa sadar alu berteriak, "Aku ke sini bukan untuk ini."
"Bukan? Terus kenapa? Kenapa kamu ke sini, Bram?"
"Aku ke sini karena khawatir. Aku ke sini karena aku pikir kamu...butuh bantuan. Aku ke sini karena aku pikir kamu.mau bunuh diri. Aku ..."
Dia tertawa, "Aku enggak sebodoh itu, Bram. Tapi, well, ya, aku butuh bantuan kamu. Aku butuh kamu malam ini. I miss you, Bram. Aku kangen permainan kecil kita."
"Aku pulang!" Tanpa menunggu aku langsung berbalik dan berjalan menuju pintu, "Hari ini kamu menang. Tapi aku enggak akan terjebak permainan kamu lagi. I'm enough with you."
"Bram?" Nada suaranya terdengar begitu sedih tapi seperti yang aku bilang, aku tidak akan terjebak lagi.
"Good bye, Mikha."
Ah, Bramnya kayak cewe ih plin-plaan :|
ReplyDeleteurusan hati bikin semua orang plin plan *suka-suka aku*
Deleteah, akhirnyaaa ada cerita lagi. tapi -___- seremin banget ngebayanginnya :')) lol. kak, masih typo kak. semangat nulis kak! ^^
ReplyDeletejangan dibayangin, dipraktekin aja! *ajaran sesaat*
DeleteKak dy lanjutannya lama banget, salam kenal ya.. ☺
ReplyDeletehai! salam kenal, maaaaaf lagi overload >.<
DeleteGoodbye mikha?? Kekekeke *smirk evil. Ka mikha, aku saranin ya, cari cowok lain kekjanganka. Bram teru. Dunia masih luas mennn!😁 pokoknya aku salut gitu dah ama ka bram
ReplyDeletekirain salut sama Mikha :))))))))
DeleteAih....mikhanya ini menggoda sekali
ReplyDeletekak kok mikha ikut-ikut manggil bram? bukannya ibra ya? kan bram the one and only buat sher? :)
ReplyDelete