Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau



Merah.

Patuh aku memelankan laju mobilku hingga sempurna berhenti. Memilih menunggu lampu hijau, tidak ada gunanya menerobos lampu merah. Lagipula tidak ada yang menunggu kepulanganku hingga aku harus bergegas

Samar, radio yang aku nyalakan untuk membunuh sepi mengalunkan sebuah lagu. Entah lagu apa, aku tidak update urusan music. Untukku music berhenti pada era 90-an.  Menunggu, aku mengalihkan pandanganku, jauh ke luar jendela mobilku. Pemandangan khas lalu lintas kota sore hari.

Gerimis. Hari ini gerimis juga menemani hari, seperti kemarin. Aku menyukai aroma khas hujan, tapi akutidak pernah suka dengan efek hujan. Mengembalikan kenangan yang seharusnya dilupakan.
Entah karena hujan, entah karena aku memang ingin mengingatnya, perlahan tugu Pancoran berubah menjadi jam gadang, landmark kotamu, Bukittinggi, tempat kita kemarin bertemu.

Aku belum pernah ke kotamu, setidaknya hingga kemarin, tapi empat tahun kebersamaan kita membuatku hapal dengan pasti setiap sudut kota itu, kotamu.

Jam gadang yang menjadi landmark kotamu. Denah dasar seluas 13 x 4 meter, tinggi 26 meter. Memiliki 4 jam dengan diameter 80 cm. Jam yang di datangkan langsung dari Rotterdam, Belanda. Kembaran yang sempurna dari Big Ben yang menjadi landmark  kota London. Aku menghapal semua detail tentang jam ini, karena kamu selalu bercerita dengan bangganya.

Pasar Atas yang terletak di selatan Jam Gadang dan selalu ramai dengan wisatawan yang berbelanja. Setiap kali bercerita tentang pasar ini kamu akan selalu mengingatkanku untuk menawar separuh harga dari yang ditawarkan oleh penjual. Katamu, memang sudah menjadi ciri pasar itu untuk tawar menawar sebelum terjadi transaksi dan bukan rahasia umum pedagang membuka harga dengan dua kali lipat harga sebenarnya. Dan kamu selalu mengakhiri ceritamu dengan menertawakanku, aku yang tidak bisa menawar, terbiasa untuk langsung menerima harga yang disebutkan oleh penjual.

Jajaran tenda sate Padang yang menjadi makanan kesukaanku. Setiap kali aku bilang aku ingin makan sate Padang, seketika kamu akan tersenyum dan mengatakan bahwa di kotamu, tidak perlu mengucapkan sate Padang, sate yang ada di kotamu ya sate Padang, tidak ada pilihan sate yang lain.

Ya, aku menghapal setiap sudut kotamu dengan baik.

Dan ketika kemarin aku memutuskan untuk ke kotamu, aku seakan pulang. Aku menghapal kota itu dan mengenali aromanya. Tapi mungkin itu karena kamu. Sudah lama kamu menjadi rumahku, tempatku untuk berpulang.

Berbulan sejak kepulanganmu ke kota itu, hanya pesan singkat yang menjembatani ribuan kilometer jarak di antara kita. Pesan singkat yang sangat singkat. Tidak ada kata cinta, tidak ada kata rindu, tidak ada kalimat mesra. Selalu kamu hanya membalas pesanku dengan satu kalimat pendek.

“Bapak masih belum memberi lampu hijau. Sabar ya Mas.”

Berapa lama aku harus menunggumu?

Dan terakhir kali kamu mengirimkan pesan singkat padaku adalah sebulan yang lalu. Kemudian kamu menghilang, tanpa kabar.

Sebelum aku gila karena rindu kepadamu, aku memutuskan untuk ke kotamu. Nekad. Tapi aku harus melakukannya.

Sampai di kotamu, aku segera mengirimkan pesan singkat untukmu.

“Aku menunggumu di Jam Gadang.”

Tidak ada balasan darimu. Tapi aku yakin, kamu membaca pesanku dan sedang menuju ke tempatku menunggu, di bawah jam kesayanganmu, Jam Gadang.

Lima belas menit, mungkin lebih, itu waktu yang aku habiskan untuk menunggumu. Berjalan mengitari Jam Gadang, menatap jalan raya, meremas Rosario yang selalu ada dalam sakuku, resah bersalut kerinduan yang membuncah.

Lima belas menit waktu yang aku habiskan sebelum mataku menangkap sosokmu. Kamu yang tergesa berjalan menuju kearahku dengan jilbab marun yang dipermainkan oleh angin.

“Mas kenapa kesini?” Itu kalimat pertamamu. Buyar semua bayanganku, aku membayangkan bahwa pertemuan kita, setidaknya, akan diawali dengan kalimat penuh rindu.

“Kamu ga kangen aku Dek?” Aku menyimpan kekecewaanku dan memilih untuk menggodamu.
“Kangen.” Lirih.

Dan untuk pertama kalinya sejak aku menjalin kisah dengannya ada jeda yang menggantung.
“Kamu apa kabar?” Ragu aku berusaha mengusir jeda.

“Mas ngapain ke sini?” Tajam, “Rere udah bilang, Bapak belum ngasih lampu hijau!”
“Aku kangen Dek.”

Kamu membuang wajahmu, menatap jarum Jam Gadang yang terus berputar.

Meraih tangannya, “Aku capek nunggu Dek. BIar aku ketemu sama Bapak. Biar Bapak ngeliat kalau Mas sungguh-sungguh sama kamu. Mas ga bisa nunggu lebih lama.”

Perlahan gerimis turun. Tidak hanya awan yang meneteskan air, bola matamu pun serta menitikkan air.

“Aku serius Dek. Sekalipun Bapak nuntut aku untuk mengikuti keyakin..”

Kamu meletakkan telunjukmu pada bibirku, mengisyaratkanku untuk diam.

“Aku ga mau ada pengorbanan Mas,” kamu tersenyum, mengusap air mata dan mengambil sesuatu dari dalam tasmu.

TIN! TIIIIINNNN!!! TIIINNNNNTINNNNNNN!!

Suara klakson panjang mengembalikanku dari kenangan. Bukan Jam Gadang yang ada dihadapanku melainkan Tugu Pancoran.

Melirik sekilas jok disampingku, biasanya ada kamu disana.

Kosong.

Hanya ada secarik kertas bernuansa emas dengan aksen marun yang mengisi jok itu. Kertas yang kemarin kamu berikan padaku dibawah gerimis di kotamu. Kertas yang mematri namamu bersama dengannya, entah siapa. Seorang lelaki beruntung, sayang bukan aku.

Tidak ada lagi lampu hijau yang harus aku tunggu.

Aku segera melajukan mobilku, berusaha menghindari kemarahan dari para pengemudi yang tergesa. ***




No comments:

Post a Comment