"Mbak, kenapa sih Mas Dimas itu?" Ara bertanya padaku yang sedang melipat mukena yang baru saja selesai aku gunakan, "kerjaannya tiap hari marahin aku mulu. Semua yang aku kerjain dianggapnya salah. aku sampai bingung mau ngerjain apaan."
Aku hanya tersenyum mendengar keluhan yang tidak berhenti keluar dari bibir mungil Ara. Memang sejak hari pertama Ara bekerja di kantor pos ini, Dimas berulang kali memarahinya, bahkan tadi pagi Dimas memarahinya karena kesalahan sepele. Aku memang tidak melihat langsung kejadiannya, aku tahu dari Mas Linggar.
Linggar, mengingat sosoknya selalu menghadirkan hangat di hatiku dan senyum di bibirku. Entah sejak kapan, dia berhasil mencuri tempat dihatiku.
"Mbak Sari! Duh, si Mbak, saya lagi curhat kok Mbak malah senyum-senyum sendiri? Mbak senang aku dimarahin mulu sama Mas Dimas?! Kasian dikit gitu sama aku, Mbaaaaak," Ara menarik tanganku sedikit kesal.
"Maaf," Aku segera menghapus bayangan Mas Linggar dari kepalaku, " aku dengerin kok, kamu sebel karena dimarahin mulu sama Dimas khan?"
"Iyaaaa! Apa besok aku minta dipindahin ke bagian kredit aja ya? Bareng Mbak Sari, jadi aku ga harus kerja bareng Mas Dimas si tukang ngomel itu!"
"Eh, jangan!" aku memasukkan mukenaku ke dalam tasnya.
"Kenapa? Mbak ga seneng kerja bareng aku? Atau Mbak sama kaya Mas Dimas, mikir aku ga becus kerja?" Ara berujar dengan kesal sambil membantuku melipat sajadah dan memasukkannya ke dalam lemari musholla.
"Bukan. Aku tahu kamu bisa kerja kok. Cuma nanti kalau kamu minta pindah ke bagian kredit si Dimas bakalan kesal banget sama aku, jangan ya!" Aku memegang tangannya lembut, "udah, urusan Dimas ga usah dipikirin, anggap aja dia kaya anak SD yang lagi caper. Sekarang kita makan siang yuk, Mbak pengen nasi pecel di depan kantor."
"Mbaaak, kok anak SD sih?" Ara menjajari langkahku menuju ruang loker.
"Karena, anak SD kalau suka sama orang itu caper," Aku membuka lokerku dan aku menemukan sebuah bungkusan di dalam lokerku.
Siapa yang meletakkan bungkusan ini di dalam lokerku? Penasaran aku membuka bungkusan tersebut dan ternyata isinya adalah kotak makan dan sebuah surat beramplop biru, warna kesukaanku. Siapa?
Aku membaca surat itu, cepat karena aku begitu penasaran. Dan pipiku seketika bersemu ketika melihat inisial di bagian bawah surat itu. Semoga tebakanku benar.
"Mbak, ayo! aku udah laper nih," Ara menghampiri lokerku.
"Ra, makan siangnya batal ya." aku tersenyum kepada Ara, "ada urusan sedikit"
Aku mengambil handphoneku dan mengetik sebuah pesan singkat kepada pelaku dan aku benar-benar berharap bahwa tebakanku benar. Aku ingin orang itu yang mengirim bekal makan siang dan surat. Semoga!
"Mas, kalau ngajak keluar jangan via surat.
Mana ga pake nama lagi suratnya."
"Ya udah deh, aku makan siang sendiri aja deh." Ara melambaikan tangannya dan segera keluar dari ruang loker.
Aku menuju pohon di samping musholla dan mulai menikmati bekal makan siang disiapkan untukku. Lima menit aku menunggu dibawah pohon ketika dia muncul di depanku.
"Sar!" Masih dengan napas terburu dia memanggilku, "nanti malam ada waktu? Maaf aku nanya lewat surat." Dia menggaruk kepalanya.
Tebakanku benar, aku tersenyum bahagia.
Dia, Mas Linggar.
NB:
Hasil nyamber postingan berserinya Unet, Kantor Pos - The Short Stories
Check them out here >>http://septianessty.posterous.com
No comments:
Post a Comment