Monday, September 17, 2012

Yang Saya Tunggu

"Apa lagi sih yang kamu tunggu?" Raya masuk ke ruang kerja kecilku dan langsung menghempaskan tubuhnya ke daybed dipinggir jendela yang menghadap ke taman mungil rumahku. 

"Ini ngomongin apa sih?" aku menghentikan kegiatan jemariku di atas keyboard laptopku. Raya selalu meminta perhatian penuh dari lawan bicaranya, selalu. "Datang-datang langsung nyerocos ga jelas."

"Aku ngomongin kamu dan ke-single-anmu! Mbok ya kamu nikah gitu, betah banget sih sendiri." Raya mengambil asal sebuah majalah dan membalik-baliknya dengan cepat, aku tahu dia sama sekali tidak peduli dengan isi majalah itu. Dia hanya membutuhkan sesuatu untuk menyalurkan emosinya.

"Kamu kenapa sih? Datang-datang ga ada angin ga ada hujan langsung membahas statusku? Sejak kapan itu jadi masalah buat kamu?" Aku bertanya bingung. Raya, sahabatku sejak SMP biasanya tidak pernah peduli dengan statusku.

"Sejak Mama kamu bolak-balik nelpon dan curhat sama aku. Aku capek dengernya Bila!" Raya menutup kasar majalah yang tadi dibalik-baliknya cepat. "Dan aku mulai setuju dengan Mama kamu. Apa sih yang sebenarnya kamu tunggu?" Raya berteriak kesal.

"Kamu nunggu mapan? Nunggu rumah kamu ada dua dan kredit mobil kamu lunas? Nikah itu gampang Bila, tinggal ke KUA, beres." Raya sekarang mulai mengetuk-ngetuk jemarinya di bingkai jendela. 

"Aku tahu nikah itu mudah, gampang. Aku tahu nikah itu murah, ga butuh biaya mahal. Aku tahu." Aku berusaha untuk tersenyum menghadapi Raya, sahabatku yang sedang kesal.

"Terus kenapa? Kenapa sampai sekarang kamu masih juga single?" Raya memang keras kepala dan selalu menuntut jawaban untuk semua pertanyaan yang dimilikinya, "apa kamu takut menikah akan mengekangmu? Kamu jadi ga bebas travelling kemanapun yang kamu mau?"

Aku menggelengkan kepalaku, "Raya, kamu yang paling tahu apa mauku. Ketika kamu dan teman-teman yang lain sibuk mau melanjutkan kuliah ke luar negeri atau bekerja ditempat yang keren, kamu tahu kalau mimpiku cuma menjadi seorang ibu rumah tangga. Kamu juga yang tahu kenapa aku rela membuang setahun waktuku dan ngeyel kalau aku bisa hidup dari nulis itu karena aku mau nanti aku bisa bekerja dari rumah dan bisa mengawasi perkembangan anak-anakku."

Raya terdiam sesaat mendengar jawabanku, "terus kenapa kamu masih single?" kali ini tidak ada kesal dan amarah pada nada suaranya, hanya ada keingintahuan.

"Karena, menemukan seorang pria yang aku ingin menghabiskan waktu bersamanya, menghabiskan sisa umurku bersama dengannya, itu yang ga mudah." Aku tersenyum menatap Raya sahabatku. 

Raya terdiam dan memelukku erat, "You will find him, soon."

"I know," dan dalam peluknya aku mengusap airmata  tanpa terlihat olehnya.

Seandainya dia tahu sebesar apa resah yang berdiam dihatiku karena sampai usiaku yang hampir genap  dua puluh lima tahun dan aku masih juga belum bertemu dengan seorang pria yang akan melengkapi hidupku dan menjadi imam untukku. Seandainya.

NB: terinspirasi dari tweet mbak lala (@lalapurwono)



No comments:

Post a Comment