Friday, October 26, 2012

Hanya Doa Yang Kupunya

"Tuhan," aku menyusuri pilar-pilar besar yang memangku bubungan atap bangunan ini, Rumah Tuhan. "Tuhan?"

Aku sedang mencari Tuhan. Sayangnya, lebih dari berpuluh menit yang aku lewatkan dan hampir seluruh sudut bangunan ini aku jelajahi tapi aku juga belum bertemu denganNya. Dengan Tuhan. Seandainya aku tidak bertemu denganNya disini lalu kemana lagi aku harus mencariNya?

Aku harus bertemu dengannya. Ada selarik pertanyaan dan sebait doa yang harus aku sampaikan kepadaNya. Hanya kepadaNya.

"Tuhan, kamu dimana?" Aku mulai lelah mencariNya. Kemana lagi harus kucari?

"Tuhan, mungkin tidak pantas aku bertanya tanpa bertemu denganMu. Tapi aku benar-benar harus menanyakan ini, kenapa aku harus berbeda? Kenapa aku harus begitu menyandu kematian?" Aku bersandar pada pilar dan melipat kaki, memeluk lutut.

"Salahkah jika aku memyandunya? Menyandu kematian itu?" Hening. Tidak ada jawaban, tidak sekalipun hanya satu kata.

"Hanya doa yang aku punya sekarang ini. Tuhan jika aku memang kamu inginkan untuk menjadi menyandu kematian, aku mohon jangan jadikan aku seorang monster." Aku mengusap aliran hangat yang membasahi pipiku, "aku mohon, jangan ijinkan aku untuk menjadi monster! Aku mohon!"

"Tuhan, sungguh aku tidak ingin menjadi monster yang tega membunuh anaknya sendiri." semakin lirih ucapanku, "aku takut, keinginan itu semakin kuat." Dan kali ini aku membiarkan air mata itu berlompatan dari mataku. Sama sekali aku tidak ingin.menahannya.

Saat ini hanya doa yang kupunya, aku tidak tahu bagaimana harus menahan inginku untuk mematahkan leher si kecil setiap kali melihatnya. Aku tidak mampu berhenti membayangkan sensasi mematahkan tulangnya, mengangankan derak samar tulang leher yang patah. 

Tuhan, tolong aku!

No comments:

Post a Comment