Thursday, December 25, 2014

Aku Ingin Bebas

"Jadi kamu masih enggak mau cerita kenapa kamu putus?" Pertemuan kami yang kesekian sejak aku putus dan dia masih tetap mengulang pertanyaan yang sama. 

"Enggak ada yang bisa diceritain. Memang enggak bisa bareng lagi aja," dan aku masih setia mengulang jawaban yang sama. 

Dia menarik napas panjang berulang kali, "Ini kenapa aku enggak percaya sama cinta. Well, aku bukan enggak percaya cinta, aku enggak percaya sama pelakunya. Manusia itu mudah banget bilang cinta. Mudah juga ngomong benci. Hari ini saling ngomong cinta, besok teriak benci."

"Makin lama kamu makin sinis, ya? Ayolah, hidup itu bakalan lebih menarik kalau kamu sedikit ngurangin kesinisanmu." Aku tersenyum menggodanya. 

Dia mendelikkan mata bulatnya lalu mengambil long black dan menyesapnya dalam, "Aku enggak butuh sesuatu yang menarik. Aku udah bosan sama hidup." 

"Bosan? Karena ngerasa hidup kamu plain?" 

"Enggak," dia menatapku dari balik cangkirnya, "Aku bosan aja. Aku bosan nyari alasan kenapa aku ada. Aku bosan terus-menerus ngerasa kayak boneka kayu yang bebas dimainin sama dalang, sesuka hati dalang. Aku bosan. Hm, enggak, aku enggak bosan, aku cuma pengin bebas." 

"Bebas?" Aku semakin bingung dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan olehnya. 

"Iya. Bebas. Mati," matanya yang menatapku berkilat tajam. Detik ini aku sadar kalau dia tidak sedang bermain-main dengan ucapannya. Dia benar-benar ingin mati. 

"Sayangnya, sama seperti kita enggak bisa memilih mau dilahirkan atau enggak, kita juga enggak bisa milih mau mati kapan." 

"Kenapa?" 

"Kenapa apa?" Dia balik bertanya. 

"Kenapa kamu mati?" 

"Jatuh cinta enggak butuh alasan, putus juga enggak butuh alasan jadi kenapa pengin mati butuh alasan?" 



2 comments: