Bertahun yang lalu aku jatuh cinta pada fotografi. Tapi aku bukan seorang fotografer. Sampai sekarang aku tidak pernah bisa menggunakan kamera, yang paling sederhana sekalipun, dengan benar. Aku jatuh cinta pada hasilnya.
Menatap lama sebuah foto sambil membayangkan apa yang ada di benak fotografer ketika mengabadikan momen itu. Atau sekadar menduga-duga kelanjutan momen itu. Atau tanpa memikirkan apa pun. Hanya memperhatikan detail di foto itu. Aku suka melakukan semua itu.
Dan itu alasan kedatanganku ke acara pameran foto ini. Aku belum pernah mendengar nama fotografernya tapi judul pamerannya sangat menarik, Nusantara Dalam Bingkai Senja.
Tanpa ekspektasi aku memasuki galeri ini. Dan segera, berbagai foto yang dipajang menarik perhatian dan membuatku jatuh cinta. Nuasana merah dan orange berpadu menarik dengan birunya langit, cerahnya bunga yang menjadi foreground, detail bangunan adat sampai siluet entah siapa tertangkap dengan sempurna.
Siapa pun fotografer yang berhasil mengabadikan semua momen ini, dia terbaik. Senja yang ditangkapnya tidak hanya berupa senja tapi menyampaikan cerita. Cerita tentang alam, manusia dan budaya.
Aku sedang memperhatikan foto kelima ketika sosok yang sangat aku kenal tertangkap oleh sudut mataku.
Sher.
Tanpa berpikir aku langsung mengalihkan padangan ke arahnya. Gadis itu memang Sher. Tapi bukan Sher yang aku kenal.
Dia bukan Sher yang selalu berkaos polos dan bercelana jeans dengan rambut dibiarkan tergerai bebas. Sher yang berdiri di sana Sher yang berbeda. Wajahnya tersapu riasan walau tipis. Kaos dan jeansnya sudah berganti menjadi kemeja satin dan rok midi rancangan desainer, berpacaran dengan Mikha membuat pengetahuanku tentang hi-end fashion bertambah.
Siapa dia?
Tapi aku memang tidak pernah mengetahui latar belakang Sher. Aku hanya mengetahui nama, nomor handphonenya dan berbagai hal absurd yang aku tangkap sepanjang perbincangan kami. Selebihnya aku tidak tahu apapun tentang dia. Sekalipun pekerjaan atau keluarganya.
Bertahun aku merasa mengenalnya. Dan cukup beberapa detik untuk menyadari kalau aku ternyata tidak mengenalnya sama sekali.
Aku ingin menghampirinya tapi sesuatu memaku kakiku ke lantai. Aku termangu menatapnya yang hari ini terlihat sangat cantik. Dan kebingunganku semakin bertambah ketika perlahan pengunjung yang menghampiri dan membentuk lingkaran di sekelilingnya bertambah. Beberapa orang terlihat memberikan selamat.
Mendadak pandangan kami bertemu. Dan dia tersenyum manis, senyuman yang sangat aku kenal. Sekarang aku baru yakin kalau dia adalah sher. Tapi bukan Sher sahabatku membunuh malam.
Kakiku masih terpaku di lantai dan Sher masih sibuk melayani mereka yang mengelilinginya. Aku menyerah dan memilih untuk kembali memperhatikan salah satu foto senja yang dipajang pada dinding di sampingku.
"Aku enggak nyangka bakalan ketemu kamu di sini." Tiba-tiba Sher sudah berdiri di sampingku.
"Sama. Aku juga," aku menatapnya, "Setahuku kamu benci keramaian."
Dia tertawa, "Terpaksa. Enggak lucu kalau yang bikin pameran enggak datang, kan? Pameran tunggal pula."
"Kamu...pemilik galeri ini?"
Dia kembali tertawa, "Aku lupa kalau kamu itu lucu. Bukan. Aku bukan pemilik galeri ini."
"Kuratornya? Kalau iya, aku harus bilang kalau kamu melakukan pekerjaan yang luar biasa. Semua foto ini... bicara."
"Aku yang motret, Bram."
"Kamu..." aku kehilangan kemampuan berbicara. Informasi yang baru aku cerna terlalu mengejutkan.
"Enggak percaya? Aku emang enggak pernah cerita, sih, sama kamu."
"Kamu memang enggak pernah cerita apa-apa, Sher."
"Aku baru tahu kalau itu bisa jadi masalah," dia tersenyum, "Siapa pun aku, siapa pun kamu, kita tetap temen minum kopi, kan?"
Dan aku menganggukkan kepalaku. Aku tidak peduli siapa Sher selama dia tetap menjadi sher yang aku kenal, itu berarti dia tetap sahabatku.
"Kenapa Vana. A?"
"Karena itu nama yang dikasih orang tuaku, silly boy. Sher-Vana, A-nya tentu aja untuk Alamsukma."
Aku kembali menganggukkan kepalaku. Kenapa aku tidak bisa melihatnya? Atau setidaknya mencurigainya.
"Seandainya kita enggak ketemu malam ini, apa kamu berencana untuk ngasih tahu ke aku kalau kamu fotografer?"
"Tanpa perlu aku kasih tahu kamu pasti bakalan tahu besok. Acara sebesar ini enggak mungkin enggak diliput media, kan?"
Lagi, aku menganggukkan kepala.
"Aku dipanggil, kalau aku tinggal enggak apa-apa, kan?" Dia bertanya sambil memberikan kode dengan jari ke arah seorang pria yang memanggilnya.
"Enggak masalah."
"Oke, enjoy my exhibition, Bram," Sher menepuk bahuku ringan.
"Sher," aku memanggil ketika dia baru berjalan beberapa langkah.
Dia membalikkan tubuhnya dan menatapku bingung.
"Ada lagi yang enggak aku tahu tentang kamu?"
"Kita enggak pernah benar-benar tahu tentang seseorang." Dia tersenyum dan kembali membalikkan badannya.
"Sher," aku kembali memanggilnya.
"Iya, Bram?" Sher kembali membalikkan tubuhnya.
"Foto ini... kamu ambil di mana?"
Sejenak Sher menatap foto yang aku tunjuk. Senja dengan siluet dua orang wanita yang sedang bercengkerama di dekat jembatan kayu. Sederhana sekaligus menghangatkan.
"Menjangan, Bali. Momen terakhir aku bareng Ibu."
Aku terdiam dan dia berlalu.
Kayaknya ini bagian Bram - Sher yaaa, moga begitu untuk episode selanjutnya. Kemunculan Sher masih aja ngasih misteri. Aku sungguh penasaran Mbak >___< buruan lanjutannya *dipentung*
ReplyDeleteKamu penasaran sama apanya, sih?
DeleteKak, buruan lanjutin :'( penasaran sama Sher..
ReplyDeleteBelom ada ide. Belom ada sketsa.
DeleteNo comment. Lidahku tidak bisa berkata apapun tentang chapter ini, tapi aku suka waktu ka Sher bilang "kita ngga pernah benar benar tahu tentang seseorang" butuh waktu lama aku cerna kata kata itu dan aku berhasil~😁✊
ReplyDeleteLidah enggak bisa tapi jari bisa mengetik, kan? *keukeh demi komen*
DeleteAlhamdulillah kalau berhasil mencerna^^
Bisalah ka, aku kn punya 2 tangan ama 10 jari tangan*muka murung
DeleteAku udh kasih komennya diatas ya kak*
uwo uwo. aq gak bisa komen apa-apa. :D
ReplyDeleteLaaah???
Delete