Tuesday, March 24, 2015

Tentang yang Pertama

Cangkir kedua malam ini. Dan kebosanan masih belum ingin pergi. Ternyata benar hidup yang sempurna itu menjemukan. Rutinitas yang sama, kebahagiaan yang rasanya tidak pernah habis, masalah yang selalu diselesaikan oleh orang lain dan aku hanya menerima beres semuanya.

Seharusnya aku bahagia. Senang setidaknya. Tapi kebosanan semakin menggerogotiku.

"Kamu pikir kenapa aku doyan minum, Ibra? Suka? Enggak. Alkohol itu enggak ada yang enak. Aku minum cuma biar enggak bosan."

Dan sungguh aku iri pada bocah yang suka seenaknya, Rayhan. Aku bukan penganut yang taat. Aku beribadah hanya kalau aku ingat atau kebetulan ada waktu. Beramal kepada sesama sering. Tapi aku sendiri mempertanyakan niatku. Ikhlas atau hanya sekadar ingin terlihat baik? Entahlah. Walaupun begitu, aku masih menghindari beberapa hal yang dilarang oleh-Nya. Termasuk alkohol.

"Bullshit kalau ada yang bilang dunia ini hitam putih. Dunia ini abu-abu. Benar-benar abu-abu. Termasuk kamu, Ibra."

Ocehan Rayhan yang lain ikut mengusikku.

Abu-abu. Terdengar semacam pembenaran untukku. Aku sedang terlalu lelah untuk berpikir.

Seorang gadis melewati pintu kafe. Awalnya aku tidak peduli tapi ketika dengan penuh keyakinan dia berjalan kearah meja yang aku tempati lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia duduk di hadapanku. Aku mulai memperhatikannya. Memperhatikannya dengan penuh tanya.

Siapa dia?

Kenapa dia dengan santainya duduk di depanku?

Aku aku mengenalnya?

"Kursi ini kosong, kan?" Sapaan pertamanya. 

"Kosong," aku menjawab sambil tetap memperhatikannya.


Lalu kembali hening. Dan aku kembali memperhatikannya. Bukan karena kecantikannya tapi karena sesuatu pada dirinya yang menggangguku.

Bagaimana mungkin gadis ini terlihat kuat dan rapuh di saat yang bersamaan? 

Dan aku mendapatkan jawaban dari pandangannya.


"Do you like what you see, Mister ...?" Dia memecah keheningan di antara kami.

"Ibrahim," spontan aku menyebut namaku, "But you can called me Ibra."

"Well," dia menjilat bibirnya, "I prefer Bram. Kalau Ibra bingung manggilnya. Bra kesanya porno, Ra kayak cewek dan Ib aneh."

"Whatever you like, Miss ...," aku tidak pernah sesuka seseorang yang dengan seenaknya memutuskan seperti yang baru saja dilakukannya tapi entah kenapa aku memperikan pengecualian buatnya.

"Sher," dia menjawab singkat sambil tersenyum tipis.

"Just Sher?"

"Kalau pun aku kasih tahu nama lengkap, kamu tetap.cuma butuh nama panggilan, kan? So, Bram, do you like what you see?"

Aku tertawa mendengar pertanyaannya, "Memangnya kamu tahu aku merhatiin apaan?"

"Of course. Boys," dia kembali tersenyum, "Apa lagi yang dilihat cowok dari cewek? So, Boobs or butts?"

"You'r wrong. Your eyes."

"My eyes? What you saw?"

"Loneliness. Full of."

Dia terdiam lama mendengar jawaban spontanku. Sedikit membuat aku merasa bersalah. Tapi itu yang aku lihat di matanya. Pusaran kesendirian pekat yang membeku. 

"Baru kamu yang ngelihatnya. Orang lain enggak pernah ngelihatnya pada itu terlihat jelas," dia menjawab sambil menerawang jauh. 

“Mungkin mereka terpuaskan hanya dengan melihat kecantikanmu, tapi buatku kesendirian yang terpancar di matamu jauh lebih menarik.”
“Tidak pernah berpikir sejauh itu. Dan selama ini tidak ada seorang pun di dekatku yang berpikir seperti itu. Buatku sedikit aneh.”

Shit! Dering smartphone membangunkanku. Tergesa aku meraih smartphone yang aku letakkan pada end table sambil melihat jam digital yang berpendar dalam gelap. 02.47

Siapa?

Rosa Mikhaelana.

Damn! Apa lagi kali ini?

"Kenapa, Kha?" Aku menjawab sambil berusaha tidak terdengar sinis.

"Jemput. Aku enggak bisa nyetir."

"Party lagi?"

"Ah! Kamu memang pacar terbaik di dunia, Ibra! Kamu kenal aku banget."

Aku menarik napas panjang, "Aku enggak bisa jemput kamu. Besok aku ada meeting pagi."

"Ibra, kamu tega? Kamu tega kalau ada cowok lain yang manfaatin aku? Aku bukan sekadar tipsy, Beib."

"Enggak. Aku enggak..."

"Kalau kamu bisa ke sini dalam sepuluh menit, kamu enggak akan kecewa, Beib. Know what I mean, right?"

"Kha..."

"Ayolah, Beib. I'll do everything, promise," suaranya terdengar menggoda.

"Beib, I want you. You," suaranya semakin terdengar menggoda, "And I know you want me. Badly. Am I right? Beib..." 

"Holy shit, Kha!" Aku turun dari tempat tidur dan menyambar asal kaos dan celana jeans dari walk in closet.

"I love you, too, Beib." 

Telepon terputus dan aku sudah menunggu lift terbuka dengan tidak sabar.

14 comments:

  1. Ka bram, kn udh aku bilangin putusin aja ka Mikha, dia itu punya bnyk sifat.
    Ka Sher, auramu misterius sangat*mengerikan

    ReplyDelete
  2. Hahahaha (datang2 ketawa)
    Sher yang misterius, tapi aku malah lebih takut sama Mikha dan Bram ini mau ke arah mana ya sebenarnya.

    Bram...jelaskan padaku isi hatimu (ini petikan lagu keknya)
    Mbak Dy, aku ngeri sama Mikha :( *tutup mata* hahahaha :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kenapa datang-datang ketawa ya?

      Nah, lho, mau dibawa kemana? *berusaha buka mata Aiu*

      Delete
  3. Bram ke Mikha pertama kaya malaikat ko sekarang mikha ke bram kaya tukang ojek *tawa geli * udah pilih sher aja yg jelas dan tak kalah cantik dark mikha

    Ka dy aku suka semua gambarnya ♡♡♡♡

    ReplyDelete
  4. Terserah kakak aja deh :( serasa diaduk2 ngeliat ulah Mikha nya sinetron abis2an ulahnya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sinetron banget ya?
      Tapi ada alasan kok kenapa dia gitu.

      Delete
    2. Kak :( Mikhanya kok mukanya banyak amat, bagi2 lah sama org yg suka cari muka :p sampein ke dia yaa kak..

      Delete
  5. Emang mereka mau ngapain sih? :p
    Kak Dy, typo lagi nih.
    ....memperikan pengecualian...
    ....enggak pernah ngelihatnya pada((hal)) itu...
    eh, itu typo gak sih? Hahhahahaha. Keep writing kakakk.. :)

    ReplyDelete