Saturday, April 11, 2015

Percakapan dan Ketakutan

Aku memacu BMW Z4 hingga kecepatan maksimum. Memaki lampu merah. Mengutuk pengendara motor yang menyetir seenaknya. Mengumpat diriku yang masih mengkhawatirkan Mikha.

Setelah semua yang dilakukannya, aku masih mengkhawatirkannya. Shit!

Dan di saat seperti ini potongan percakapanku bersama Sher di antara sekian banyak malam yang kami habiskan mengambil alih pikiranku. Dan aku semakin kesetanan. Fuck you, head!!!

"Kamu pernah ngerasa capek enggak?"

Pertanyaannya membuatku menurunkan smartphone yang sedang aku tekuni. Dan tanpa sempat berpikir aku sudah menatapnya sambil mengernyitkan kening.

"Iya, kamu pernah ngerasa capek enggak?" Dia menopang dagu sambil menatap air hujan yang menempel pada kaca jendela kafe.

"Sering," aku memilih menjawab singkat karena masih belum mengerti kemana arah tujuan pertanyaan Sher.

"Maksud aku, kamu sering ngerasa capek enggak ngehadapin semesta?"

"Oke. Aku nyerah. Aku enggak paham maksud pertanyaanmu, Sher. Bisa lebih jelas?"

"Aku sering capek ngehadapin semesta," ucapannya membuat keningku berkerut semakin dalam, "Capek berusaha ngertiin selera humor semesta yang enggak lucu."

"Kamu semakin bikin aku bingung."

Dia menyandarkan punggungnya dan menengadahkan wajahnya menatap plafond kafe, "Semesta itu sering kali sok lucu. Ngasih harapan terus menghancurkannya di detik terakhir."

"Hm," aku bergumam.

"Tapi yang paling bikin capek itu, bagian ngikutin maunya semesta. Kadang-kadang aku ngerasa sekadar jadi marrionatte-nya semesta."

"Marrionatte?"

"Iya. Apapun yang kita usahakan, apapun mimpi kita, toh, akhirnya mau enggak mau kita kudu ngikutin maunya Semesta, kan? Kayak marionatte. Cuma bisa ngikutin maunya si dalang."

"Ya enggak gitu juga, Sher...."

"Lucu kali ya, Bram," dia tersenyum tapi di mataku senyumannya jauh lebih menyerupai seringaian dan itu membuatku merinding, "Kalau sesekali kita ngerjain semesta?"

"Ngerjain gimana?" Ini bukan pertama kalinya obrolan kami berujung absurd dan aku sudah belajar kalau cara terbaik meladeni keabsurdan Sher dengan membiarkannya mengoceh.

"Mendahului rencananya."

"Dengan cara?"

"Ah! Kamu enggak asyik, Bram. Kamu itu terlalu logis! Kurang imajinasi. Makanya jangan jadi orang kantoran!" Dia mengerucutkan bibirnya, "caranya, ya, dengan menghadirkan kematian lebih cepat dari rencana semesta."

"Bunuh diri?"

Dia mengangguk penuh semangat.

"Terus dari mana kamu tahu kalau bunuh diri itu bukan bagian dari rencana semesta?"

"Shit! Kamu benar, aku enggak pernah mikir sampai situ. Ternyata kita benar-benar cuma marrionatte, ya."

"Sher, aku boleh nanya sesuatu, enggak?"

"Boleh. Mau nanya apaan? Kok jadi sok formal gitu?"

"Kamu sering banget ngomongin kematian, bunuh diri, kenapa? Apa kamu berniat untuk... menghabisi nyawamu sendiri?"

Dia mengangkat bahunya dan mengalihkan pandangannya kembali menatap sisa air hujan di kaca jendela kafe.

Dia terdiam lama.

"Hujan selalu bikin aku pengin bertemu dengan orang yang aku sayang. Mereka yang sayang sama aku."

Dia kembali terdiam.

"Dan satu-satunya cara untuk bertemu dengan mereka adalah kematian."

Dia memalingkan wajahnya dan menatapku dengan intens.

"Tapi Tuhan masih menolak kepulanganku."

Lidahku kelu.

Shit! Shit! Aku mengumpat ketika air hujan mengenai kaca mobilku.

Please. Help. Me.

Mikha. Apa mungkin....

Aku dan Mikha, kami serupa, Bram.

Holyshit! Apa Mikha juga memiliki perasaan yang sama setiap kali hujan?

Bagaimana jika dia.... berniat membunuh dirinya?

Ya Tuhan! Mikha!!

Aku menekan pedal gas semakin dalam.



8 comments:

  1. Oke saya penasaran, hahaha lanjut, kak! Bikin kayak kmrn dlm sehari ngeluarin bbrp episode :p

    ReplyDelete
  2. Sher, kata-katanya itu kok secara nggak langsung nusuk ke aku ya hahahahah ^^

    aku kira bakalan langsung ke Mikha ini fokusnya, aduh aku cemas sama Mikha jadinya Mbak. Ada apa dengannya -___- jangan bikin aku penasaraaaaan *dipentung*

    ReplyDelete
    Replies
    1. kamu masokis ya, tadi minta digantung sekarang minta dipentung. revisi gimana?

      Delete
  3. Mereka bagai langit dan bumi, mikha-sher bagaikan langit dan bram bagaikan bumi. Mereka sama sama tidak bisa tersentuh ataupun menyatu. Tidak bisa melihat keadaan aslinya, hanya misterius yg bisa didapatkan *sok puitis bgt sih* Plak!!

    ReplyDelete