Every love story is beautiful, but ours is my favorite one
"Neng," Pandu bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari buku arsitektur yang sedang dibacanya. Tangannya masih memainkan tanganku sambil sesekali mengelus perutku yang terlihat super besar karena kehamilanku sudah memasuki minggu ke-28.
"Hm," terlalu nyaman dalam pelukannya hingga aku hanya memberikan gumaman sebagai jawaban tanpa membuka mata atau melepaskan kedua tanganku yang memeluk lehernya.
"Hari ini kamu mau saya temenin ke mana?"
"Nggak ke mana-mana," aku memperbaiki posisiku dalam pelukannya.
"Mau ditemenin ngapain gitu?"
Aku kembali menggelengkan kepala, "Nggak mau ngapa-ngapain. Aku cuma pengin gini aja."
Saat ini Pandu sedang asyik membaca salah satu buku arsitektur koleksinya sambil melurukan kaki di ottoman sementara aku berada dalam pelukannya. Aku tidak melakukan apa pun keciali mendengar detak jantung dan memenuhi indera penciumanku dengan aroma tubuhnya. Sesekali angin dari halaman belakang akan menerbangkan vitrase dan langit biru akan terlihat mengintip. Sejak menikah kami memang memutuskan untuk kembali mendiami rumah Papa.
Pandu bersikeras membayar seluruh biaya renovasi dan interior untuk mengisinya walau tentu saja aku memnuhi setiap sudut rumah dengan benda kesukaanku. Rak buku berwarna putih dengan desain skandinavia di sudut ruangan ini selain terisi buku-buku koleksi Pandu juga penuh sesak dengan koleksi snowglobe-ku. Sofa putih di ruang tamu menjadi kanvas bagi sarung bantal dengan warna dan motif ceria yang aku jahit sendiri. Ruang makan dan dapur tentu saja penuh dengan barang-barang kesukaanku. Kecuali salah satu sudut kulkas tempat Pandy menyimpan sekotak besar susu full cream rasa strawberry dan berkotak-kotak strawberry.
Kamar tidur kami tentu saja didominasi warna putih, warna kesukaanku. Di salah satu sudutnya Pandu meletakkan sofa hitam yang dulu ada di kamarnya berdampingan dengan sofa putih milikku. Dulu kami sering menghabiskan waktu sebelum tidur di sana. Pandu dengan buku atau mencoret-coret desain yangs edang dikerjakannya dan aku dengan rajutan atau sulaman yang belum selesai. Kamar masa kecilku diubah Pandu menjadi ruang kerjanya. Satu-satunya bagian rumah yang aku izinkan untuk terlihat berantakan. Berantakan yang terstruktur kata Pandu, suamiku. Interior dan berbagai barang di rumah ini menggambarkan dengan baik bagaimana kami berkompromi dengan kesukaan dan kebiasaan masing-masing.
"Yakin?"
"Aku capek dan ada hari-hari di mana aku cuma pengin sembunyi dalam pelukan kamu, Kang. Sebentar aja pengin kabur dari dunia nyata, hari ini salah satunya," aku merapatkan sweater-ku walau matahari pagi melimpahi setiap sudut ruangan.
"Oke," dia meletakkan buku yang sedang dibacanya lalu mencium kepalaku, "Seharian kita bakal malas-malasan kayak gini."
"Bukan malas-malasan," aku tersenyum, "Recharge."
"Hmmh," dari gumamannya aku tahu kalau Pandu sedang tersenyum konyol saat ini, "Apa
pun yang Tuan Putri inginkan."
Selama beberapa saat kami berdua asyik dengan pikiran kami masing-masing. Membiarkan hening menyelimuti. Kenyamanan yang sudah lama tidak aku rasakan. Bukan karena kehamilanku tapi karena semakin berkurangnya waktu yang dimiliki Pandu untuk dihabiskan bersama denganku.
"Kamu makin sibuk belakangan ini, Kang," aku membiarkan Pandu mengusap perutku.
"Maaf," salah satu hal yang aku suka dari Pandu dan membuatku berulang kali jatuh cinta. Dia tidak pernah mencari pembenaran atau memberikan berjuta alasan. Ketika dia menyadari kesalahannya dengan besar hati dia akan mengucapkan maaf. Seperti sekarang ini.
"Neng nggak butuh maaf kamu, Kang. Yang Neng butuhin cuma kamu dan waktu kamu," aku meletakkan tanganku di atas tangannya.
Tidak ingin hari yang langka seperti ini berubah menjadi mimpi buruk aku memilih untuk diam dan kembali memejamkan mata dalam pelukannya.
"Neng," Pandu yang tadi terlihat santai sekarang menegakkan punggungnya. Kedua tangannya berada di atas perutku, "Dia nendang, Neng! Ya Allah, dia..itu tadi tendangan pertamanya, kan?"
Aku memutar dudukku hingga sekarang aku duduk di sampingnya. Tidak lagi berada dalam pelukannya, Sejujurnya aku tidak ingin merusak kebahagiaan yang dirasakan oleh Pandu tapi dia tidak memberikan pilihan lain, "Itu bukan tendangan pertamanya. Tendangan pertamanya beberapa minggu yang lalu waktu kamu di," aku mengangkat bahu, "Aku nggak tahu kamu di mana."
"Kok kamu nggak cerita?" Ekspresi Pandu membuat hatiku seketika teriris perih.
"Gimana aku mau cerita kalau kamu nggak pernah punya waktu buat aku?" Aku menunduk mengusap perutku berulang kali, "Seharusnya kita ngejalanin ini berdua, Kang. He is ours, right? Not mine, not yours."
"HE? Bayi kita laki-laki?!"
"Hasil USG kemarin, ya, dia laki-laki."
"Kamu nggak ngerasa harus ngasih tahu saya?" Kali ini nada suara Pandu terdengar tidak menyenangkan. Seakan menuduhku melakukan sesuatu yang seharusnya tidak aku lakukan. Salahkan hormonku yang sedang tidak stabil karena nada suaranya membuatku kesal sekaligus marah.
"Gimana aku mau kasih tahu kamu kalau kamu baru pulang setelah aku tidur dan tadi pagi selesai subuhan kamu langsung masuk ke ruang kerja kamu?!" Aku tidak berusaha untuk menahan air mataku. Kali ini aku membiarkan Pandu untuk mengetahui apa yang aku rasakan selama ini, "Seharusnya kita ngejalanin ini bareng-bareng, Kang! Aku capek sendirian. Waktu pertama kali aku tahu aku hamil, kamu di Shanghai, kerja. Waktu pertama kali aku kontrol kehamilan, kamu di mana? Hongkong, meeting penting."
"Aku bukannya nggak senang Akang balik ke dunia arsitektur. Aku senang karena aku tahu itu dunia Akang. Tapi nggak gini, Kang," aku mengigit bibir bawahku, "Aku nggak tahu harus ngasih alasan apa lagi kalau dokter atau ibu-ibu di ruang tunggu nanyain suami aku ke mana."
"Konyolnya," aku mengusap air mataku dengan punggung tangan, "Konyolnya tiap kali aku pengin sesuatu, nasi goreng dukduk tengah malam buta, bakso waktu dini hari sampai es krim, siapa yang aku hubungin, Kang? Bukan kamu. Aku malah hubungin Reihan karena kamu nggak ada di samping aku. Kamu nggak ada, Kang!"
Dengan sisa tenaga aku bangun dari duduk. Ketika Pandu mengulurkan tangan untuk membantu aku segera menepisnya, "Selama ini kamu maksa aku untuk sendirian. Aku udah terbiasa buat berjuang sendirian. Jangan rusak itu sekarang dengan perhatian nggak penting kamu."
"Neng," dia menjilat bibirnya, "Illa."
Aku tidak memedulikan panggilannya. Dengan tertatih aku berjalan menuju kamar. Sengaja tidak mengunci pintu karena berharap Pandu menyusulku. Dengan sisa tenaga aku memanjat tempat tidur lalu aku berbaring menyamping dan berusahameluruskan punggung yang mulai terasa pegal kemudian memejamkan mata.
Kenapa jadi gini? Ketika Pandu kembali menekuni dunia arsitektur, proyek awalnya hanya berupa proyek kecil seperti mendesain rumah tinggal, merenovasi bangunan lama atau mendesain pusat pertokoan baru. Tapi itu tidak berlangsung lama. Ketika mantan rekan dan atasan Pandu mengetahuinya, tawaran untuk mengerjakan proyek besar mulai berdatangan dan Pandu memilih untuk tidak menolaknya.
Awalnya semua berjalan sempurna. Beberapa kali dalam sebulan Pandu harus mengunjungi lokasi untuk analisa lahan atau inspeksi lapangan. Kami seperti menjalani long distance relationship. Berkirim pesan singkat hampir sepanjang hari di sela kesibukan kami masing-masing, telepon di malam hari tidak peduli selelah apa dan perbedaan waktu di Bandung dan lokasi Pandu. Ketika Pandu pulang kami akan melepaskan kerindukan. Memabukkan sekaligus membahagiakan.
Entah sejak kapan jumlah pesan singkat kami berkurang drastis. Dari yang sepanjang hari menjadi hanya sapaan ketika memulai dan mengakhir hari. Telepon juga. Sesekali. Ketika tidak terlalu lelah atau tidak terlalu malam atau tidak ketiduran atau...ada banyak alasan yang bisa digunakan untuk membenarkan kenapa tidak menelepon. Saat itu aku masih tidak mempermasalahkannya. Ketika bertemu kami akan menghabiskan waktu bersama. Seakan tidak terpisahkan. Aku tahu dia masih Pandu yang sama dengan pria yang aku nikahi dua tahun yang lalu. Hanya saja...
Aku kembali terbangun untuk kesekian kalinya. Salah satu hal yang membuatku tidak nyaman selama masa kehamilan adalah harus berulang kali terbangun untuk ke kamar mandi di malam hari. Sebelum turun dari tempat tidur aku menjulurkan tangan ke samping, kosong. Ke mana Kang Pandu?
Sambil turun aku memperhatikan jam yang ada di nakas samping tempat tidur. Hampir pukul tiga dini hari. Seharusnya Pandu sudah sampai di rumah sejak pukul dua belas. Seingatku, Pandu mengatakan kalau pesawatnya mendarat sekitar pukul sembilan di Bandara Soekarno-Hatta dan paling telat pukul dua belas dia sudah ada di rumah. Aku mencari smartphone dengan panik. Takut kalau Pandu berusaha menghubungi tapi aku tidak mendengarnya. Tidak ada notifikasi apapun.
Setelah dari kamar mandi aku memutuskan untuk ke ruang keluarga menunggu Pandu. Menyelimuti tubuhku dengan selimut, menyalakan mode torch di smartphone karena terlalu malas menyalakan lampu, sinar lampu juga membuat mataku silau. Telingaku menangkap suara yang seharusnya tidak ada ketika kakiku menjejak ruang keluarga. Penasaran sekaligus ketakutan aku menajamkan telinga untuk mencari tahu sumber suara.
Dari kamar bayi? Beberapa minggu yang lalu aku memutuskan untuk mengubah salah satu kamar tamu menjadi kamar bayi dan ruang untuk aku menyusui nantinya. Aku sudah membicarakannya dengan Pandu. Dia mengatakan akan menyelesaikannya tapi karena kesibukannya lagi-lagi itu hanya menjadi sebuah janji. seminggu yang lalu aku meminta Roni untuk mengecat dan sisanya akan aku selesaikan nanti. Walau sekarang aku masih belum tahu bagaimana harus merangkai seluruh perabotan bayi pesananku yang kardusnya memenuhi kamar itu.
Sinar lampu yang terlihat dari sela pintu yang tidak tertutup rapat membuat ketakutanku sedikit berkurang. Pencuri tidak mungkin sengaja menyalakan lampu, kan? Sambil menyeret selimut aku menghampiri kamar bayi. Pemandangan yang ada di depan mataku ketika membuka pintu kamar bayi membuatku tidak mampu menahan air mata. Air mata haru sekaligus karena perasaan bersalah.
Pandu tertidur di samping tempat tidur bayi yang baru selesai dirangkainya. Dia masih mengenakan kemeja putih dan jeans, aku yakin itu pakaian yang sama yang dikenakannya selama penerbangan, blazernya disampirkan asal di salah satu kardus yang sudah terbuka. Melihat jumlah kardus yang sudah dibukanya aku yakin dia hampir selesai merangkai seluruh perabotan.
Setelah mengusap air mata aku mengedarkan pandanganku. Berbeda dengan terakhir kali aku mengunjungi kamar ini, sekarang interiornya sudah mulai terlihat. Baby cribs dengan tirai putih sudah terpasang dan diletakkan di samping nakas yang tepat berada di tepi jendela yang menghadap ke halaman belakang. Nakas ini juga berfungsi untuk mengganti popok bayi kami nanti. Sesuai dengan keinginan yang aku ceritakan kepada Pandu di sela sarapan. Ternyata dia memperhatikanku.
Di samping jendela Pandu meletakkan sofa berwarna putih dengan beberapa bantal lembut. Tempat aku menyusui. Dia juga sudah menarik ottoman dari ruang keluarga ke kaamr bayi mungkin untuk memastikan kenyamananku. Rug tebal dengan kombinasi hitam dan putih memenuhi lantai di depan cribs. Di salah satu dinding Pandu meletakkan rak buku yang sebagian berisi boneka dan mainan pilihanku sementara sebagian yang lain penuh dengan buku cerita pilihannya. Pandu juga sudah merangkai kuda-kudaan kayu bercat putih yang aku beli hanya karena aku suka. Berapa lama dia sudah membongkar kardus, merangkai dan menatanya?
Aku menyampirkan selimut di punggung Pandu lalu aku duduk di ottoman yang sebelumnya sudah aku tarik ke sampingnya. Perlahan aku menggusap rambutnya. Terlalu takut untuk membangunkannya.
"Hei," ternyata ketakutanku menjadi nyata. Pandu terbangun, "Maaf, aku ngebangunin kamu, ya, Neng?"
"Nggak, kok. Neng ngebangunin Akang, ya?" Aku merasa bersalah dan air mata kembali menggenangi mataku.
"Lho, Neng kenapa?" Pandu bangun dan mengusap air mata di mataku dengan kedua jarinya, "Akang bikin Neng nangis lagi, ya?"
Aku menggelengkan kepala dengan lemah.
"Terus kenapa?" Pandu menatapku dengan bingung.
"Neng ngerasa kalau udah jahat banget sama Akang. Belakangan ini tiap kali kita ketemu yang ada Neng marah-marah ke Akang. Neng..."
"Ssssthhh," Pandu meletakkan telunjuknya di bibirku, "Neng nggak salah. Akang yang salah. Neng benar, harusnya kita ngejalanin ini berdua. Dan selama ini memang Akang jarang ada buat Neng."
"Akang sibuk. Harusnya Neng bisa kompromi dengan itu karena Akang sibuk ya buat Neng dan bayi kita, kan?"
"Kamu tahu," Pandu tersenyum dan bahkan setelah dua tahun menikah dengannya senyumnya masih menghasilkan efek yang sama kepadaku, "Setelah yang kemarin itu, yang Akang kira kalau itu pertama kalinya bayi kita nendang," dia menjelaskan karena aku menatapnya bingung, "Akang sadar kalau selama ini Akang lupa satu hal penting. Kamu sama bayi kita butuh kehadiran Akang, sebagai suami, sebagai ayah, bukan sebagai mesin penghasil uang."
Dia sekarang duduk di lantai, tepat di hadapanku yang masih belum beranjak dari ottoman. Pandu menggenggam kedua tanganku lalu menatapku lama, "Waktu kita pertama kali ngejalin hubungan, kamu minta kita ngejalanin pelan-pelan, kan?"
Aku menganggukkan kepala.
"Akang baru aja terbiasa dengan peran jadi suami," dia melanjutkan ucapannya, "Terbiasa ngejadiin kamu prioritas utama saya. Sekang kita udah harus bersiap untuk peran baru. Saya tahu, konyol kalau saya minta kita ngejalanin ini pelan-pelan karena dalam hitungan minggu bayi kita bakal lahir. Tapi boleh aku minta kamu untuk selalu ngingetin saya?"
"Ngingetin apa?"
"Ingetin saya kalau saya lupa nunjukin perasaan sayang saya ke kamu. Ingetin kalau saya mulai tenggelam di pekerjaan saya. Ingetin saya kalau nanti saya kurang ngasih waktu untuk Neng dan bayi kita. Akang mohon Neng ingetin Akang. Jangan ngambek atau berharap Akang ngerti karena Akang nggak pernah tahu harus gimana kalau Neng ngambek. Akang juga bukan cenayang yang ngerti kalau kamu nggak ngomong apa-apa."
Aku kembali menganggukkan kepala.
Pandu menempelkan telinganya ke perutku, "Maaf karena selama ini saya nggak cukup ada buat kamu. Dan buat bayi kita." Pandu meletakkan dagunya di perutku lalu menengadah menatapkku, "Saya juga nggak bisa janji kalau setelah ini saya akan selalu ada. Tapi saya bisa janji satu hal, saya akan selalu berusaha untuk jadi suami dan ayah terbaik. Buat kamu dan anak kita."
"Aku nggak minta kamu janji apa-apa, Kang. Asal kamu berusaha itu udah cukup buat Neng." Aku mengusap sudut mataku, "Maaf kalau belakangan ini Neng marah-marah dan ngambek mulu, ya?"
"Pengaruh hormon, kan?" Pandu berlutut kemudian tanpa terduga mencium bibirku. Ciuman rasa strawberry yang aku candu, "Selama masih bisa, salahin aja hormon kamu yang naik turun, Neng."
Pandu berhasil membuatku tertawa sambil menangis haru. Dia kembali mengusap sudut mataku lalu mencium bibirku dengan lembut. Tidak menuntut. Seakan dia hanya ingin memberitahu sebesar apa dia mencintaku. Ciuman rasa strawberry yang selalu aku candu.
Pernikahan kami memang tidak sempurna. Tidak ada pernikahan yang sempurna karena bagaimana pun ini bukan dongeng. Pernikahan tidak selalu berjalan mulus dan mudah. Tapi bukankah itu intinya? Pernikahan selalu tentang menghadapi berbagai hal, mulai dari yang membahagiakan, menyedihkan, tantangan, segalanya bersama dan tidak pernah melepaskan?
Seperti yang mungkin sering dikatakan oleh orang tua, pernikahan bukanlah akhir. Pernikahan merupakan awal. Sebuah awal yang setiap jam, menit dan detiknya berharga karena melaluinya bersama orang yang tepat. Orang itu Pandu untukku. Bersamanya aku siap menghadapi apapun karena aku tahu dia tidak akan pernah melepaskan genggamannya dan akan selalu mengusahakan yang terbaik dari dirinya.
I lost my heart to found my soulmate.